![Penangkaran Burung Hias Menggunakan](/media/Burung-Hias.jpg)
Penangkaran Burung Hias Menggunakan "Bungker"
Perlindungan mirip bunker itu juga diterapkan oleh Cuan Lie untuk burung hias miliknya di Kenten, Talangkeramat, Palembang. Rumah panggung di tengah kebun jeruk seluas 1 ha tampak seperti rumah kebun biasa. Padahal, lorong rumah panggung itulah satu-satunya jalan masuk menuju tempat penangkaran seluas 200 m2. Pengamanan kandang pun dibuat esktrakuat. Pintu kandang terbuat dari plat besi berukuran 1,5 m x 2 m, mirip pintu rumah walet. Pintu itu selalu terkunci dan hanya pemilik dan karyawan setia yang boleh masuk ke kandang. Bangunan berisi 36 kamar masing-masing berukuran 2 m x 4 m itu dilengkapi pintu plat besi berukuran 1,2 m x 2 m. Sebagai pengaman tambahan dipakai gerendel agar pintu tertutup rapat. Ratusan juta rupiah dicemplungkan Cuan Lie untuk membangun kandang penangkaran itu. Wajar bila lokasinya agak tersembunyi dan jarang orang tahu kandang penangkaran. Perjalanan Mitra Usaha Tani dari pusat kota Palembang menuju lokasi penangkaran sejauh 15 km itu pun sungguh terasa melelahkan. Apalagi satu- satunya kendaraan yang dapat masuk ke sana cuma motor.
Kandang berbintang lima
Meski tampak seperti “rumah tahanan”, Cuan Lie memberikan pelayanan mewah buat
penghuni layaknya tamu di hotel berbintang. Bagaimana tidak, semua kebutuhan
burung dipenuhi. “Meski terkurung, burung harus nyaman tinggal. Mereka merasa
seperti di habitatnya,” kata ayah 2 anak itu. Kandang burung hias dirancang
khusus. Atap dibiarkan terbuka dan dipasangi kawat kasa. Maksudnya, untuk
mencegah burung kabur sekaligus menjaga sirkulasi udara dan sinar matahari.
Alas kandang berupa tanah agar adem dan serangga kecil muncul dari tanah
berfaedah buat pakan. Pepohonan rindang pun ditanam di kandang untuk arena
bermain. Meski begitu, ia tidak sembarang memilih tanaman. Menurut Cuan Lie
cucakrawa perlu pepohonan berdaun kecil tapi rindang atau tanaman berdaun
besar. Oleh karena itu ia menanam beringin dan palem waregu. “Di tempat itulah
biasanya burung itu bersarang,” katanya. Karakter jalak suren atau murai batu
lain lagi. Burung pemakan serangga itu sebenarnya tidak menyukai pepohonan
hidup. Mereka lebih menyukai lubang-lubang pohon. Cuan Lie memasukkan sarang
terbuat dari kayu yang sudah dilubangi atau kelapa yang dibelah dan diambil
batoknya. Wadah pakannya berupa kotak terbuat dari tripleks. Di tempat itulah
jangkrik selalu tersedia sepanjang hari. “Kapan pun burung mau makan, pasti
ada. Jangkrik setiap pagi harus dikontrol jumlahnya. Sepasang menghabiskan 40
ekor,” ujar Cuan Lie sambil memegang 2 anakan murai batu. Dalam sehari minimal
Cuan Lie membawa 5.000 jangkrik buat burungnya. Sayang, ketika
mitrausahatani berkunjung ke sana hanya terlihat 4
pasang cucakrawa, 8 pasang murai batu, dan sepasang jalak suren. Kandang lain
tidak boleh dilihat lantaran induk sedang mengeram.
Berawal Dari Coba-coba
Kiprah Cuan Lie di dunia penangkaran burung hias tidak diragukan lagi.
Kualitas anakan yang dihasilkan terbukti bagus. Ternakannya diminati hobiis
seantero Nusantara. Iwan Narpati, hobiis di Kebonjeruk, Jakarta Barat,
membuktikan kualitas murai batu yang dibeli dari Cuan Lie. “Keturunannya
bagus. Banyak yang sudah juara di Jakarta,” kata salah satu personil Tim
Mahabharata itu. Kepiawaian Cuan Lie menangkarkan burung bukan didapat
sekejap. Awalnya ia sekadar hobiis yang acap ikut ke kontes. Hampir semua
jenis burung dikoleksinya. Tak heran, bila ia dikenal di Palembang era
1994-1995 lantaran burungnya kerap juara. Bahkan, semua pedagang di pasar
burung pun mengenalnya. Ia melirik penangkaran pada 1995. Empat kandang
terbuat dari kawat ram berukuran 1,5 m x 2,5 m x 3 m dibangun di rumahnya di
Tujuhulo, Palembang. Itu pun hanya sekadar uji coba. Kegagalan perjodohan atau
induk macet bertelur pun acap dihadapi. Meski begitu, dengan berbekal
ketekunannya berbagai jenis burung berhasil diternak secara bergantian. Bagi
Cuan Lie kunci sukses menangkarkan burung sebenarnya mudah. “Bukan hanya
ketekunan dan ketelatenan saja modalnya. Penangkar harus mengerti karakter
setiap burung, termasuk perilaku dan kondisinya di habitat alam. Lain burung
lain penanganan,” ujar ayah Astra dan Astrid itu. Untuk menggali ilmu itu, ia
rela ikut ekspedisi pemburu burung di hutan sekitar Jambi. Di sanalah ia bisa
mendapatkan pengetahuan untuk menangkarkan burung hias. Cuan Lie pun selektif
memilih induk setelah mengetahui katuranggan dan suaranya. Makanya, untuk
materi kandang sebagian besar diperolehnya dari burung koleksi yang rata-rata
telah juara. Ada juga anakan sendiri yang sudah ia seleksi, lalu dibesarkan
untuk induk.
Raup Rupiah Dari Penangkaran Burung Hias
Selama 2 tahun mengutak-atik di kandang, barulah Cuan Lie memetik hasilnya pada 1997. Baginya tak ada kendala mempromosikannya lantaran ia sering hadir saat lomba. Bahkan, piyik berumur 1 bulan dibagikan percuma sebagai doorprize. Dengan cara itulah hasil ternakannya semakin dikenal hobiis di seputaran Palembang. Gaungnya pun terdengar hobiis mulai dari Jakarta hingga Surabaya. Meski harga yang dibandrol lebih tinggi dibanding burung tangkapan, toh banyak peminat yang meminta ternakannya. Sebagai contoh, harga saat itu seekor murai batu tangkapan alam Rp 200.000, burung ternakannya mencapai Rp 400.000. Kini, dalam sebulan Cuan Lie melepas sebanyak 20 pasang piyik berumur 1 bulan. Kalau harga rata-rata Rp 1-juta/ pasang, maka ia meraup Rp 20-juta/bulan. “Asal burung bisa makan sendiri sudah lakuteijual. Kalau ingin mendapat burung siap lomba umur setahun juga ada, tapi harga jelas berbeda. Lain lagi kalau mau jebol kandang,” ucap peraih peternak terbaik dari Pelestari Burung Indonesia itu. Prospek Aral rintangan menghadang Cuan Lie ketika usaha penangkaran burung hias berada di masa jaya pada 2000. Lantaran problem keluarga, ia kurang konsentrasi menggeluti usahanya. Ia malah terlihat sibuk di toko kelontong di daerah Tujuhulo, Palembang. Untuk mengontrol kandang diserahkan pada salah satu pegawai yang hanya memberikan pakan. Selama 2 tahun produksinya macet alias tidak menghasilkan anakan. Bahkan, beberapa induk dijual ke orang lain yang berminat. Lama tafakur di toko, semangat Cuan Lie bangkit kembali. Ia merasa terpanggil untuk mengurus kandang yang terbengalai. Sisa induk diurus lagi. Namun, tidak semua burung diternak. Ia melihat cucakrawa, murai batu, dan jalak suren prospektif untuk dikembangkan. Alasannya, “Selain, burung itu jarang dijumpai di alam, harganya pun stabil tinggi,” katanya. Cuan Lie berharap bakal menuai manisnya menangkar burung kembali. Apalagi prospeknya semakin cerah di masa mendatang. Jika itu terjadi, maka ia harus berbagi waktu dengan baik. Dua tugas bakal diembannya sekaligus, yaitu ayah untuk putra-putrinya yang kini perlu mendapat perhatian dan ibu bagi burung yang mengisi pundi-pundinya.
Share on: