Analisa Alih Fungsi Ruko Menjadi Rumah Walet
- 4 min read
Saat senja mulai merayap, ribuan walet melayang di kawasan Pecinan Pati. Mereka beterbangan di atas puluhan rumah walet sehabis berburu pakan di Pegunungan Kapur Utara, di sebelah selatan, dan Pesisir Laut Jawa, di sisi utara. Di situlah penghasil liur emas membentuk sarang dan beranak pinak. “Sekali panen bisa 3 kuintal,” ujar H Ahmad Suyuti, praktisi walet di kota itu, sambil menunjuk sebuah rumah walet. Melihat hasil sebesar itu, Pati pontensial sebagai sentra walet. Pemilik rumah walet itu minimal memetik 9 kuintal sarang per tahun karena liur dipanen 3-4 kali. Dengan harga Rp l7,5-juta per kg, sang pemilik rumah walet bercat biru itu mengantongi pendapatan Rp 15,75-miliyar. “Yang seperti itu tidak hanya satu,” ujar kelahiran Sukolilo 56 tahun silam itu. Cerita Suyuti bukan isapan jempol. Banyak walet betah tinggal di Pati karena lokasinya “terjebak” di antara 2 kawasan kaya pakan: hutan dan perairan. Bila Anda berkunjung ke Pati dari arah Purwodadi, pandangan selama 1,5 jam perjalanan tertumpu pada gunung kapur yang berdiri tegak. Pegunungan Kapur Utara itu melintang dari Grobogan, Jawa Tengah, sampai Tuban, Jawa Timur. Di situlah dulu walet tinggal di gua-gua kapur. Pun pantai utara. Wilayah perairan yang luas dikenal sebagai habitat asli anggota keluarga Apodidae itu. “Karena populasi di gua-gua di pegunungan dan pantai kian padat, mereka menyingkir ke tempat lain,” ujar Khoirul Amala, staf PT Amida Perkasa Nusantara, perusahaan yang banyak menangani jasa konsultasi walet. Ada juga yang menduga walet menyingkir karena kehidupan di alam terganggu. Ulah manusia merampas sarang di gua membuat walet tidak kerasan. Harap mafhum, jauh sebelum 1808 sarang walet sudah diburu di Pulau Jawa. Satu per satu walet meninggalkan huniannya untuk mencari tempat lain yang aman.
Walet di Pecinan
Di kota yang pernah menjadi pusat kegiatan para wali itu, rumah walet terpusat di Pecinan, sekitar 500 m-1 km dari simpang lima alun-alun Pati. Konon, dahulu di kawasan itu banyak tinggal warga Belanda di rumah-rumah berukuran raksasa. Bangunan itu beratap tinggi dan bertembok tebal. Lantaran suasana seperti di gua, walet pun memilih bangunan itu sebagai tempat tinggal. Kdtika Belanda angkat kaki cfari bumi pertiwi rumah besar itu berganti tangan ke etnis Tionghoa. Populasi mereka kian meningkat di kawasan itu, sehingga kampung di Dukuh Kauman, Kelurahan Patikidul, itu disebut pecinan. Di tempat itu, rumah yang dibangun dengan gaya biasa pun turut diserbu kerabat burung layang-layang itu. Toko banyak yang ditutup karena diisi walet. Pemiliknya menyingkir membangun tempat tinggal baru. Kini di Pati, setidaknya ditemukan 100 rumah walet. Penduduk di sekitar Pati yang tinggal di desa-desa juga mendapat berkah. Pasalnya, sriti yang juga banyak menempati bangunan peninggalan Belanda terdesak oleh walet yang tubuhnya lebih besar. Burung pelopor itu mengalah mencari tempat baru di pedesaan, terutama di rumah joglo- rumah khas Jawa-tua. Misalnya, di desa-desa di Kecamatan Sukolilo. “Rumah kuno itu tinggi dan adem. Kayunya pun sudah tidak berbau,” ujar Sungowo, penduduk setempat yang mitra usaha tani temui. Di sana, sarang dali- sebutan sriti di Pati-dihargai Rp 400-ribu-Rp 1 -juta per kg, tergantung kualitas.
Perlu aktif
Walaupun Pati areal pengembangan rumah walet, bukan berarti walet gampang dipancing. Ada juga sebagian rumah Apodidae yang tetap kosong melompong. Musababnya, rumah kurang sejuk dan berbau sehingga tidak sesuai dengan habitat walet. Karena itu, menurut Suyuti perlu tindakan aktif pemilik rumah walet untuk mengundang penghasil liur emas itu. mitra usaha tani melihat beberapa rumah walet dipasangi batu bata bertumpuk yang disemprot air. Karena sifat batu bata mampu melepaskan air secara perlahan-lahan sehingga ruangan lebih sejuk dan lembap. Sebagian lain menggunakan batuan gamping sebagai campuran pasir dan semen untuk beton. “Itu agar kondisi gedung mirip gua di pegunungan kapur,” ujar Suyuti. Bagian atas ruangan juga diberi celah yang diisi jerami agar ruangan stabil sejuk. Agar cepat dihuni Apodidae ada pemilik yang menggunakan sarang sriti sebagai pemancing. Di sana sarang dali itu dijual Rp 50-ribu per kotak berisi 5 sarang. “Itu kualitas sarang yang rendah, tapi efektif untuk mengundang walet,” ujar Amala. Di Pati rumah walet dibangun multifungsi: sebagai rumah tinggal, toko, dan walet. Rumah didesain sedemikian rupa sehingga tak mirip rumah walet. “Biar kesenjangan sosial terhindar,” kata Suyuti. Dengan berbagai kreasi, jumlah pemilik rumah walet yang berhasil mengundang walet jauh lebih banyak dibanding yang gagal. Maka jangan kaget, bila Anda memasuki pintu gerbang kota bertuliskan Pati Bumi Mina Pati dari arah Purwodadi, puluhan rumah walet menyambut kedatangan Anda.