Almanak Petani Tua dan Investasi Agribisnis

  • 7 min read

Setiap bulan Oktober begini, di Amerika, biasanya saya tenggelam membaca Almanak Petani Tua. Itu adalah majalah tahunan. Terbit rutin sejak 1792, ketika George Washington memangku jabatan presiden negeri itu. Jadi sejak 210 tahun lalu, majalah yang paling saya sukai, tak pernah berhenti terbit. Mengapa Almanak Petani Tua (Old Farmer’s Almanac) menarik untuk disimak? Sebab di sana kita bisa mengenal karakter petani sejati. Di negeri semaju Amerika, kita belajar logika pertanian yang sebenarnya. Bukan tipu sana tipu sini seperti mode agribisnis. Tapi moral dan praktik berkebun, beternak, dan bercocok-tanam yang sebenar-benarnya. Jawa, sebagai pelopor pertanian di Indonesia, dengan 70 persen warganya petani, sayangnya tidak bisa menegakkan moralitas agrikultur. Hal ini terkuak ketika muncul heboh PT Qurnia Subur Alam Raya, yang melibatkan puluhan ribu “investor” agribisnis. Ludasnya modal bermiliar rupiah itu memperlihatkan, meskipun kegiatan bertani kita luas, tapi tradisi dan kebijakan agrikultur kita cukup rendah. Sebagian besar kita masih berpikir bahwa petani termasuk kaum yang bodoh. Mereka bukan kalangan yang mengakumulasi pengetahuan. Mereka tidak punya tradisi tulis. Tingkat literasi rendah, kurang suka belajar, malas mengadakan penelitian, dan tidak terbiasa menjalankan akutansi. Almanak Petani Tua, yang terbit rutin setiap bulan September, selama 210 tahun terakhir ini, menunjukkan sebaliknya. Majalah itu punya kadar humor yang tinggi. Memperlihatkan bahwa petani Amerika cerdas, murah tertawa, dan …. kemungkinan besar, makmur! Masyarakat Indonesia ada kalanya dilanda demam informasi sampai tenggelam. Misalnya ketika beredar buku “Budidaya Cacing” dan “Beternak Jangkrik”. Hanya dalam beberapa bulan, buku-buku ini laris hingga puluhan ribu eksemplar. Tetapi setelah itu hilang, seolah-olah sudah terlupakan. Sebaliknya, dari tahun ke tahun, Almanak Petani Tua terus bertahan. Pada mulanya hanya dicetak 3.000 eksemplar. Tetapi tahun berikutnya ((1793) sudah berlipat tiga kali menjadi 9.000 eksemplar. Jangan heran, pada akhir abad 18 itu sudah ada berbagai majalah pertanian di Amerika. Bayangkan, itu telah terjadi sejak 211 tahun lalu dan berlanjut sampai sekarang. Robert B. Thomas memimpinnya selama lebih dari 50 tahun. Ia meninggal dunia pada 1846. Kabarnya ketika sedang mengoreksi proof cetakan edisi tahun 1847. Semua orang tahu, ketika para senator masih berkantor di Gedung Federal New York (seperti Senayan kita) di zaman George Washington, 1790-an itu, seluruh bangsa Amerika baru empat jutajiwa. Tapi justru pada saat itulah terbit bermacam-macam majalah pertanian. Termasuk Almanak Petani, yang tirasnya 9.000 eksemplar, pada 1794. Artinya apa?

Petani dan pertanian mempunyai Peranan penting

Petani hendaknya menjadi manusia yang paling terpelajar. Mereka tidak hanya dekat dengan lumpur, tahi sapi, dan air hujan; tapi juga dengan buku dan ilmu pengetahuan. Saya masih menyimpan koran-koran lokal pedesaan di Nebraska dan Minnesotta, yang mengesankan. Pada musim semi 1981, saya menjadi berita utama ketika berkunjung ke sebuah desa kecil, bernama St. Paul, di Nebraska. Bersama potret sapi yang jadi juara dan ayam betina paling rajin bertelur, foto saya menghiasi halaman muka koran The Phonograph Herald. Warga desa itu tak sampai 1.200 orang. Tapi punya koran yang oplahnya 1.500 - 300 eksemplar langganan luar kota- dan terbit setiap Selasa. Itu pun bukan koran musiman. Ia sudah terbit sejak desa itu berdiri lebih dari 130 tahun lalu. Jadi, kalau matahari terbit setiap pagi, koran desa terbit setiap pekan. (Ingat pasaran desa juga tiap pekan!) Isinya aneka ragam kehidupan desa, resep memasak daging rusa, ramalan para pemancing ikan, dan berbagai inovasi agribisnis. Fluktuasi harga kapas, kedelai, gandum, jagung, dsb tentu tersedia dilengkapi sedikit analisa. Setiap hobiis dan pebisnis tanaman dan ternak tidak seyogyanya terjerumus pada budaya instant. Yang mau serba cepat, langsung jadi, bukan orang industri, apalagi orang agro industri, tapi tukang sulap. Apakah Indonesia telah menjadi negeri tukang sulap? Rasanya Ramli Araby juga bukan. Sepintas lalu, ia malah jadi korban. Bukan karena keterbatasannya, tapi juga karena “kelatahan” bangsanya. Coba dengar apa katanya, ketika harian Kompas bertanya: apa yang menyebabkan PT QSAR ambruk? Sederhana! Respons masyarakat yang berlebihan. “Untuk komoditas madu dan jamur yang seharusnya jumlah investasi hanya maksimal Rp 1,2 miliar ternyata diminati investor hingga terjadi penumpukan dana Rp 68 miliar.” Nah, akibatnya apa? Manajemen sulit mengendalikan. Jadi, seperti tanaman yang ditimbuni pupuk, bisnis pertanian malah mampus. Masyarakat perlu belajar. Para pengusaha agribisnis juga perlu berpikir jernih, realistis, dan keras kepada masyarakat investor. Mereka tidak boleh diiming-imingi, dinina-bobokan lagi.

Pengabdian besar para petani

Sekali lagi kita coba kita tengok Amerika. Ketika mulai mengembangkan usaha pertanian dan pendidikan, para pendiri negeri itu sangat tegas. Di Springfield, Alabama, saya pernah membaca salinan iklan begini: “Kalau Anda sanggup bekerja keras tanpa libur, gaji kecil tanpa tunjangan, siap mati kena malaria, bergabunglah bersama kami.” Iklan seperti ini cocok untuk para investor agribisnis. Petani yang tulus hati, hendaknya berani mendidik bangsanya. “Kalau Anda rela rugi, berani berkeringat, dan bangkrut karena iklim yang tidak menentu, jadilah investor pertanian!” Kalau perlu, harus disertai syarat: mau ikut merasakan jatuh-bangun, kerja keras. Misalnya ikut mencangkul sehari, ikut mengangkuti pupuk, dan ikut bersusah-payah panen. Baru itu namanya investor agribisnis sejati. Setiap keuntungan besar selalu menuntut keberanian akan mendapat risiko besar. Ketua forum kerjasama agribisnis, F. Rahardi bersama Bob Sadino, sudah bertahun lalu menyuarakan hal itu di televisi. Tetapi ada saja anggota masyarakat yang hanya mau enak. Dan celakanya, di antara mereka termasuk pejabat. Pengabdian petani dan peternak perlu disinarkan kembali di bumi pertiwi. Kalau kita mendengar petani, hendaknya yang terbayang adalah kerja keras yang tak putus-putusnya. Malam-malam yang kurang tidur karena harus bergiliran irigasi untuk mengairi kebun bawang, ketumbar, lobak dan tomat. Atau harus senantiasa berjaga pada saat domba-domba beranak sekitar April.

Perkumpulan dan persatuan kelompok petani

Almanak Petani Tua mengajarkan banyak hal bahkan bukan hanya untuk orang Amerika. Kebijaksanaan ini turun temurun dalam hati semua petani dunia. Inggris, negeri induk yang melahirkan Amerika itu, punya tradisi agrikultur lebih dahsyat lagi. Setiap bulan Mei, selama bermukim di sana (1988-1991) saya sempatkan datang ke pameran tahunan di Bath. Bermacam kiat bertani ditampilkan di arena tahunan di jantung pulau England, itu. Semuanya skala kecil. Tetapi melalui perkumpulan yang hebat British Small Scale Farmers’ Association, sering dapat pujian dari kerajaan. Saya ingat, ketika masih hidup, mendiang Puteri Diana suka menengok kegiatan mereka. Dengan humornya, puteri Inggris yang legendaris itu suka bergaul dengan petani guremnya. Tetapi jangan salah, petani gurem di Inggris, Jerman, Swiss, Amerika, dan mestinya juga Indonesia, adalah pemilik sejati dunia. Mereka yang memperhatikan hal-hal paling kecil, harus mendapat bagian yang paling besar. Mengapa? Sebab mereka yang bekerja paling keras, paling rajin, dan paling tekun, dari zaman ke zaman. Karenanya, kemakmuran yang sebenarnya terletak di desa! Di Tiongkok, ada pengertian klasik tentang desa. Katanya, desa itu tempat luas dan lega di kolong langit. Di sana setiap pribadi bisa berkembang secara alami dan manusiawi, menuju kemampuannya yang sempurna. Maka, berbahagialah semua orang desa. Di kolong langit, di tempat yang luas dan lega, mereka berkembang secara manusiawi dan alami, untuk berbakti secara optimal. Bukan hanya pada orang kota “bos dan investor” mereka, tapi juga pada alam. Pada gunung, sungai, pantai, ternak dan tanamannya. Dengan singkat, mari kembali menjadi orang desa. Sekali pun hanya di dalam hati, kita tahu bahwa semua perlu sabar, perlu kerja keras, perlu waktu untuk melanjutkan peradaban yang luhur. Budaya pop dan instant yang tampak di permukaan, sesungguhnya hanya lapisan terkecil dari peradaban. Hanya kulitnya. Tetapi isinya, baik di Inggris, Jepang, maupun Amerika; tetap logika dan mentalitas agrikultur. Itulah kekayaan besar para ahli waris bumi.

Perkembangan dunia pertanian di tanah air

Indonesa, bagaimana pun memang “bangsa maritim” yang menaruh untung dan malangnya pada perdagangan dan perniagaan. Perubahan nelayan menjadi petani boleh dibilang baru terjadi 500 tahun belakangan ini. Setelah Pati Unus gagal merebut Malaka dari Portugis (1511), budaya kelautan jadi surut. Orang Jawa yang semula ekstrovert menjadi introvert. Perahu-perahu dibakar, nelayan naik ke darat, dan belajar bertani. Sejarah mencatat, sejak runtuhnya Majapahit, nenek moyang kita mulai bercocok tanam intensif di Jawa dan di Bali. Sedangkan Sumatera, hingga sekarang masih diliputi jiwa dagang. Hal itu’tampak jelas kalau kita kenal sanak-saudara kita dari Minangkabau, Aceh, Palembang. Jadi pertanian berikut moralitasnya, relatif masih merupakan barang baru bagi bangsa kita. Kalau ada yang sangat sukses menyediakan pangan, biasanya terkait erat dengan tata-niaganya. Misalnya seperti diteladankan oleh Ibu Eva Hutapea, yang memimpin Indofood Sukses Makmur. Di Pulau Perca, atau Andalas, atau Sumatera itu, bukan pertanian intensif yang harus dibanggakan, tetapi perkebunan. Jadi ’ bahasanya bertumpu pada kelapa sawit dan karet yang terkenal di seluruh dunia. Kalau kita mau belajar pada Almanak Petani Tua, mestinya, perkebunan dan kehutanan bisa memberikan contoh yang lebih bijaksana. Atau, barangkali kita perlu 2Q0 tahun lagi untuk menjadi bijaksana dan dewasa? Rupanya tidak ada cara lain, mari tekun dan bersabar. Itulah moralitas keija-keras dan keuletan sejati Indonesia!