Alpukat Girisonta di Petirahan Para Romo

  • 3 min read

Bagi Rudi yang penggemar alpukat, Persea americana asal Seminari Novisiat Girisonta, Karangjati, Ungaran, itu memang istimewa. Dari puluhan yang dibawa, paling kecil berbobot 850 g. Terbesar mencapai 1,8 kg. Lazimnya alpukat berbobot 300-500 g per buah. “Kalau yang biasa 2 atau 3 buah habis sekali makan, tapi yang ini belum habis setengah, perut sudah kenyang,” ucap pengusaha pupuk itu. Yang membuat Rudi kian kepincut tekstur daging buah lembut dengan warna kuning menarik, mirip mentega. Daging tebal, 3-4 cm. Warna buah matang hijau kehitam- hitaman. Biji berukuran sedang dan koplak ketika matang. Kehadiran alpukat girisonta menambah panjang daftar alpukat-alpukat jumbo di Indonesia. Sebut saja alpukat muria dari Kecamatan Dawe, Kudus, dan alpukat gagauan asal Solok, Sumatera Barat .

Stok Yang Terbatas

Sayang tak semua orang bisa menikmati kelezatan alpukat girisonta. Anggota famili Lauraceae itu tidak beredar di pasaran. “Hasil panen untuk konsumsi sendiri atau dikirim ke kesusteran di Martoyudan dan Magelang,” ujar Abdiyanto, penanggung jawab kebun Seminari Novisiat. Maklum, jumlah tanaman terbatas. Di tempat pendidikan calon pastor sekaligus wisma peristirahatan bagi romo berusia lanjut itu ada 10 pohon setinggi 15-20 m yang rajin berbuah. Alpukat disandingkan dengan salak pondoh, kopi, sukun, dan kelapa. Tidak ada yang tahu persis kapan alpukat itu mulai ditanam. Namun jika ditilik dari fisiknya, diduga sudah ada sejak 15- 20 tahun lalu. Rudi beruntung bisa mencicipinya saat melakukan survei air di tempat itu. Perawatan tanaman penghasil buah jumbo itu relatif mudah. Setiap akhir musim hujan, 40 kg pupuk kandang asal kotoran kambing ditebarkan di piringan pohon. Penyemprotan hampir tidak pernah dilakukan. Sejak bertugas merawatnya 12 tahun lalu Yanto tidak pernah melihat pohon-pohon alpukat itu terserang penyakit. Jika sudah tiba waktu panen, pekerja khusus menyediakan gerobak dan keranjang rotan untuk mengangkutnya. Anggota famili Lauraceae ini kemudian dihidangkan sebagai buah meja atau jus buah. Sebagian lagi dikirim dan dibagikan sebagai buah tangan. [caption id=“attachment_1659” align=“aligncenter” width=“449”]Alpukat Jumbo Alpukat Jumbo di Petirahan Para Romo[/caption]

Alpukat Tanpa nama

Uniknya alpukat jumbo itu tidak punya nama. Penghuni seminari biasa menyebutnya alpukat nangka atau alpukat kuning, lantaran warna daging buah seperti nangka. Ada pula yang menamakan alpukat girisonta, seperti nama tempat tumbuhnya. Tidak masalah, sebab orang sama-sama mengenalnya sebagai alpukat jumbo. Menurut Tatir Sudarman, ketua Persatuan Pecinta Flora Jawa Tengah, alpukat girisonta memang tidak ditemukan di tempat lain. Ada satu yang mirip, alpukat ambarawa di Desa Ampelgading, Bandungan, Ambarawa. Walaupun rasanya sama lezat, tapi sosoknya masih kalah besar dibanding alpukat girisonta. Alpukat dari Ampelgading rata-rata hanya 400-500 g per buah. Konon, ia sudah ditanam sebelum 1980. Jumlahnya pun terbatas, hanya beberapa yang tumbuh di belakang Vila Jukeni, Ambarawa. Jika musim panen tiba, biasa ditebas dengan harga Rp 1,5-juta-Rp 2-juta per pohon. Bedanya lagi dengan alpukat girisonta, alpukat ambarawa bisa dijumpai di Jakarta. Pedagang asal Bandungan, Kabupaten Ambarawalah yang berjasa membawanya.