Analisa Keuntungan Ternak Itik Dengan Sistim Angon

  • 4 min read

Memelihara itik tanpa memberi pakan? Itulah yang dilakukan para pengembara dan penggembala itik yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Mereka hanya memanfaatkan sisa-sisa bulir padi di sawah yang sudah dituai sebagai pakan. Walau demikian produktivitas itik tetap tinggi. Hujan deras disertai angin kencang menjelang tengah hari akhir Februari lalu membuat Dadang bergeming. Ia berdiri memaku di atas pematang sawah di bilangan Karawang, Jawa Barat. Kedua tangannya mendekap tubuh, mungkin untuk mengusir rasa dingin yang menyergap. Topi cokelat kusam yang ia kenakan tak mampu menahan derasnya hujan. Pakaian pun kuyup. “Hujan, angin, petir, dan guruh sudah menjadi teman kami,” ujar Ralim Robet, pengembara penggembala itik, yang memandang Dadang dari kejauhan. Ketika hujan mereda, Dadang meratakan gundukan jerami di tepian pematang yang sebagian membusuk. Di situlah tersimpan bulir-bulir padi yang berserakan. Dengan bersiul dan mengacung-acungkan tongkat bambu Dadang menggiring 250 ekor itik ke lokasi itu. Tempat lain yang diincar penggembala adalah sawah yang baru saja dipanen dengan cara menghantamkan batang padi pada papan kayu. Persawahan sebagai tempat penggembalaan. Untuk memudahkan pengawasan, Ralim memberikan tanda berupa tali kenur kuning pada seluruh itiknya. Tali berumbai sepanjang 5 cm itu disematkan di sayap kanan. “Setiap peternak memberikan ciri tersendiri untuk membedakan itiknya dengan itik milik penggembala lain,” tutur Dadang. Ada yang menggunting sebagian bulu dada, ada pula yang memberikan pewarna di sayap. Namun, ada saja itik yang hilang walau cuma beberapa ekor.

Kasur jerami

Dalam pengembaraannya, Ralim Robet membawa 1.000 ekor itik dan dibantu 4 orang. Setiap orang menggembala 250 ekor. “Itu sebetulnya terlalu banyak sehingga beberapa itik saya hilang. Ngangon {menggembala, Red) itik kan ngga gampang, harus sabar dan rajin,” kata Robet. Ia mengupah Rp 200.000 per bulan kepada setiap penggembala. Ayah 2 anak itu mendirikan 2 buah tenda terpal di tepian sawah yang telah dipanen sebagai tempat istirahat. Potongan batang padi setinggi 10 cm masih tersisa di sekitar tenda biru itu. Di tenda itulah ia bersama 4 anak buahnya melewatkan hari demi hari. Malam yang dingin pun mereka lewatkan di atas tumpukan jerami kering yang tertutup tikar. Jarak tenda hanya 1,5 meter dari bahu jalan yang menghubunaaja Karawang-J akarta. Lokasi tenda di Karawang masih lumayan bagus. Lebaran silam, Robet menghabiskan waktu di tengah-tengah sawah yang senyap di bilangan Temalang, Cikarang. Saat gema takbir berkumandang ia cuma seorang diri menggembala itik. “Rasanya perih berpisah dengan istri dan anak-anak saat Lebaran. Tapi bagaimana? Anak buah ingin pulang sementara itik-itik itu tak dapat saya tinggalkan,” tutur ayah dari Rudi dan Kokom Mariah itu dengan tatapan iba. Untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, anak buah Robet memasak sendiri. Empat hari sekali Robet pulang ke Pasirbungur, Kecamatan Purwadadi, Subang, untuk mengambil beras dan lauk-pauk seperti ikan asin. Sebagai lauk tambahan, “Saya memetik genjer atau kangkung yang tumbuh liar di persawahan,” tutur kelahiran Subang, 7 Maret 1962 itu. Telur (bebek) hanya sekali-kali mereka nikmati.

Survei lokasi angon

Robet berpindah setelah persawahan di suatu tempat selesai panen dan akan diolah kembali. Mobilitasnya memang cukup tinggi. Dari Subang pada akhir Juli 1999 ia berpindah ke Pulosatu lantas ke Bekasi. Kabupaten di timur Jakarta ia tinggalkan, beralih ke Cikarang dan kemudian di Karawang Barat. “Di satu kabupaten saya bisa berpindah-pindah ke beberapa desa, tergantung sawah yang sedang dipanen. Pokoknya di mana padi dipanen, di situlah saya menggembala” ujar mantan satpam di sebuah rumah makan itu. Lima hari sebelum berpindah, ia mensurvei tempat yang akan dijadikan penggembalaan. Ia tak perlu membayar sewa tempat, hanya melapor kedatangan kepada ketua RT setempat. Urusan penyewaan mobil saat pindah ditangani oleh bandar telur. Dia menyiapkan dan menyewa mobil untuk mengangkut itik dan peralatan mengembara. Sewa tersebut akan dilunasi penggembala dengan cara menyicil ketika bandar mengambil telur. Dengan pola hubungan seperti itu bandar selalu tahu keberadaan para penggembala. Selama penggembalaan Robet tak pernah memberikan pakan tambahan kepada 1.000 ekor itiknya. Pakan untuk unggas itu hanya mengandalkan sisa-sisa padi yang berserakan di persawahan. Praktis ia tak mengeluarkan biaya pakan. Selain persawahan yang baru dipanen, tempat ideal untuk menggembala itik, “Yang ada sungai untuk mandi dan banyak terdapat anyiran seperti keong-keong kecil. Anyiran itu yang merangsang itik bertelur,” papar Robet. Sungai tak hanya berfungsi sebagai tempat mandi bagi itik. Ketika senja tiba dan kegelapan menebar, sungai itu juga dimanfaatkan para penggembala untuk mandi dan mencuci pakaian. Walau menyantap pakan alami produktivitas telur tetap tinggi. Dari 970 itik betina yang dibawa, “Minimal saya memperoleh 500 telur setiap hari. Kalau lagi bagus sampai 800 butir,” tuturnya. Telur-telur itu dipungut pagi hari setelah itik keluar kandang. Dua hari sekali bandar membeli telur-telur itu di tempat pengembaraan. Harga Rp 650 per butir. Kandang untuk mereka berupa geribig -anyaman bambu setinggi kira-kira 50 cm-dan kassa tanpa atap. Bentuk kandang memanjang dengan sekat-sekat untuk memisahkan itik-itik agar tidak terkonsentrasi di satu tempat tertentu. Dengan penyekatan itu kandang memanjang terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing dihuni 250 ekor. Bila hendak berpindah, kandang itu tinggal dicabut, digulung, dan dimasukkan ke truk. Robet pun berpindah ke persawahan lain yang sudah dituai. Ia memulai pengembaraan di tanah baru dan berharap masih ada sisa bulir padi berserakan