Bisnis Bibit Kentang : Terganjal Faktor kebiasaan

  • 4 min read

Bisnis bibit kentang sebenarnya berprospek cerah untuk dikembangkan. Jika harga kentang umumnya berkisar r Rp 1.500-Rp 2.000 per kg, harga bibit F2 bisa mencapai 4-6 kali lipatnya. Dari 1 kg bibit F1 impor bisa dihasilkan 17,5 kg bibit F2. Penyusutannya hanya berkisar 20%-25% saja. Sayangnya pasar bibit kentang yang terjamin kualitasnya belum terbuka luas. Petani cenderung membibitkannya sendiri. Padahal bibit yang dihasilkan tak terjamin mutunya. Untuk menghasilkan bibit bermutu memang tak gampang. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar mutu terjaga. Asal, generasi, budidaya yang tepat (lahan, ketinggian, kesuburan, perawatan), perawatan masa istirahat, lamanya masa istirahat adalah sederet contohnya. Jika salah satu tak dipenuhi jangan harap kentang yang dihasilkan berproduksi optimal.

Pembibitan Kentang Merupakan Peluang Bisnis Yang bagus

Lantaran sulitnya mendapatkan bibit bermutu, tak heran bila harga bibit selangit. Di samping masih impor, tahapan yang harus dilalui sampai bibit siap jual relatif sulit. Bahkan persyaratan yang diajukan oleh dinas pertanian relatif ketat. Terutama untuk memperoleh sertifikasi. Itu semua bertujuan untuk menghasilkan bibit dengan mutu tinggi. Salah satunya, lahan yang layak sebagai tempat pembibitan harus terbebas dari hama dan penyakit yang bersarang di tanah. Selama ini kendala utama memang masih berkutat sekitar penyakit yang begitu mengganggu. “Fusarium dan phytopthora musuh nomor satu,” kata Asep T. Gunawan, pekebun kentang bibit asal Cipanas. Bahkan ada indikasi kerusakan akibat virus kini merajalela. Jika jasad pengganggu tersebut berhasil masuk ke jaringan umbi, niscaya bibit tak layak semai. Melihat sulitnya menghasilkan bibit unggul, Asep justru menekuninya. “Saya melihat peluang , karena setelah dihitung, angka itu sangat bagus sekali,” ujarnya. Harga jual bibit F2 granola asal bibit impor per kg mencapai Rp 9.000-Rp l2.000. Sedangkan untuk F3 per kg Rp 7.000-Rp 9.000. Beda dengan Asep, Wildan, pekebun kentang di Pangalengan menjualnya dengan harga Rp 6.000 untuk bibit F2. Tentunya selisih itu lantaran asal bibit F1 yang juga berbeda. Namun intinya, angka-angka itu lebih bagus ketimbang harga produk segarnya yang paling tinggi Rp 2.500. Menurut Asep, dari bibit F1 asal Jerman, dalam 1 kg umumnya berisi 25 umbi. Jumlah tersebut bisa dikembangkan menjadi 1:20. Setiap umbi bibit F1 bisa menghasilkan 0,7 kg/umbi bibit F2. Artinya, dari 1 kg bibit F1 bisa digandakan menjadi 17,5 kg bibit F2. Bibit F2 ini bisa dikembangkan lagi menjadi bibit F3, dengan jumlah perbanyakan yang relatif sama. Sampai di sini bibit tersebut masih layak jual. Namun tak boleh diperbanyak lagi menjadi F4. Bibit itu sudah memperlihatkan penurunan mutu. Misalnya rentan terhadap serangan penyakit, tak seragam pertumbuhannya, dan lain-lain.

Terganjal Faktor kebiasaan

Sayangnya pasar bibit kentang belum terbuka luas. Pada kenyataannya di lapang masih banyak petani kentang yang membibitkan sendiri. “Kebanyakan yang besar dipanen, dan sisanya (AeciZ-Red) dibibitkan,” kata Asep. Padahal bibit seperti itu tidak dijamin kemurniannya. Cerita yang sama dikemukakan oleh Wildan. “Banyak petani yang selain bertani kentang untuk segar, juga sekaligus menjual bibit,” kata Wildan. Bibit itu bisa jadi hasil sampingan, atau hasil “kloter” terakhir dari pertanaman utamanya. Pada awalnya petani membeli bibit yang bersertifikat, kemudian dibibitkan sendiri sampai 4 generasi pertanaman. Namun hanya sebagian yang secara sadar menggunakan bibit yang terjamin kualitasnya. Tak jarang asal bibit juga tak jelas, “Sering ada pemalsuan bibit bersertifikat,” ujar Manajer Litbang PD Hikmah itu. Menurut Wildan, umumnya petani tahu kehadiran bibit bersertifikat. Namun mereka lebih menilainya sebagai sesuatu yang bernilai kualitatif. Mereka tak menyadari pentingnya menjaga kualitas bibit untuk masa depan pertanaman. Sekaligus mempertahankan kemurnian dari varietas. “Paling-paling hanya 5% saja yang menggunakan bibit eks impor dan lokal bersertifikat,” papar Wildan. Karena alasan tersebut, Asep tak berani membuka usaha besar-besaran. Satu tahap pembibitan hanya berkisar 2ton- 3ton. “Masalahnya kita harus menguasai pangsa pasarnya dengan jelas,” tambah pekebun yang juga bertani ubi jepang itu. Tanpa kejelasan yang benar, informasi yang masuk akan kurang sekali. Bisa jadi bibit siap tanam yang dihasilkan bertumpuk tapi tak ada yang memerlukannya.

Pentingnya Sosialisasi Kepada Para Petani

Langkah yang dilakukan Asep saat ini adalah mensosialisasikan pentingnya bibit yang bermutu saat penanaman. Sekaligus memberikan jaminan kepada petani, bibit yang dihasilkannya berkualitas baik. “Petani juga harus tahu apakah si pembibit memang mengeluarkan bibit yang bagus lewat proses yang diharuskan,” ucap Asep. Untuk itu ia menjalin kerjasama dengan beberapa kelompok tani dan koperasi. Sekali pun belum ada kontrak, ia cukup mengikuti program mereka. Dengan begitu banyak kemungkinan mereka siap menyalurkan. Menurut Asep, petani seharusnya telah berpikir ke arah kualitas. Pasalnya biaya produksi sehektar kentang tak murah lagi. Bisa mencapai Rp 25 juta bahkan lebih. Jika ingin bercocok tanam yang baik harus dimulai dari pengadaan bibit yang baik Bibit tersebut memiliki tingkat keseragaman tumbuh dan produktivitas yang tinggi. “Produksi kita baru mencapai 15ton-20ton/ha, “ papar Asep. Padahal di negara asalnya bisa 30ton bahkan lebih. Hal ini harus diperbaiki, dengan biaya produksi tinggi, seharusnya diimbangi produksi yang optimal. Salah satunya dengan penyediaan bibit berkualitas.