Brand Equity Dalam Pemasaran Produk Pertanian

  • 3 min read

Memasarkan produk pertanian bukanlah hal gampang. Seorang pemasar harus benar-benar jeli melihat potensi pasar dan produk sebelum melepasnya. Ada sejumlah faktor yang menentukan keberhasilan pemasaran. Salah satunya, brand equity sesuatu dari hasil pertanian yang memberikan nilai tambah sekaligus memuaskan keinginan konsumen. Brand equity sangat dipengaruhi oleh persepsi kualitas dan nama/merek dari suatu produk. Produk A memiliki brand equity kuat bila ia diterima, disukai, dan dibutuhkan konsumen. Sebaliknya, brand equity lemah ketika tingkat kepuasan konsumen rendah. Misalnya jeruk medan. Suka atau tidak harus diakui buah hasil pekebun Tanah Karo, Dairi, Deli Serdang, dan Simalungun itu memiliki brand equity rendah. Mengapa? Dari penampilan, warna kulit tampak tidak merata, seringkah kondisi kulit tak mulus, buah kecil (8 sampai 10 buah per kg), dan citarasa manis bercampur masam.

Pemasaran produk pertanian

Bandingkan saja dengan jeruk kino Pakistan. Buah impor asal negara bekas pecahan India itu mempunyai brand equity kuat. Warna kulit merata kuning tua, mulus, dan besar (6 sampai 8 buah per kg), membuatnya tampil menonjol. Meski sama-sama negara berkembang, Pakistan selangkah lebih maju ketimbang Indonesia. Negara beribukota Islamabad itu berhasil membangun brand equity yang baik untuk sebuah jeruk. Pakistan pun sukses’mengekspor jeruk kino ke sejumlah negara. Tak heran bila jeruk medan lumayan susah diterima konsumen menengah ke atas. Dari penelitian yang pernah saya lakukan, jeruk medan kurang disukai konsumen dari kalangan wiraswasta, professional, dan karyawan. Itulah sebabnya, jeruk medan kalah pamor ketika bersanding dengan jeruk kino Pakistan di sejumlah gerai pasar swalayan dan toko buah. Lokasi pun ikut menentukan konsumen yang dibidik. Konsumen di seputar kompleks real estate, perkantoran, pelabuhan udara, dan rumah sakit lebih menggemari jeruk kino daripada jeruk medan. Dari penelitian juga ditemukan, jeruk medan baru berhasil ketika dipasarkan antara lain di pasar tradisional dan terminal. Perlu dilakukan seleksi lokasi pasar yang tepat untuk “menyelamatkan” produk dengan brand equity lemah. Melihat kenyataan itu, sebagai penghasil produk pertanian, Indonesia perlu memikirkan dengan serius penciptaan brand equity yang kuat. Tak hanya pada jeruk, tetapi meluas pada hampir seluruh komoditas pertanian Indonesia. Sampai detik ini semua negara agraris di dunia berlomba-lomba membangun brand equity. Dengan peningkatan brand, maka produsen pun tak sulit memasarkan atau melebarkan sayap ke seluruh target pasar.

kemampuan daya beli masyarakat

Apalagi brand makin berkembang kala pengetahuan dan kemampuan daya beli masyarakat meningkat. Mereka bakal semakin peka terhadap pemilihan suatu produk. Di sinilah dibutuhkan kejelian seorang pemasar untuk menentukan lokasi target pasar. Salah satunya dengan mempertimbangkan kondisi konsumen yang dibidik, seperti penghasilan dan profesi. Untuk meningkatkan brand equity harus ditempuh berbagai cara. Misalnya, melakukan seleksi dan menghasilkan sejumlah varietas unggulan. Demikian pula dengan teknologi menghasilkan produk berkualitas. Selain itu, dari pihak produsen sampai pemasar harus memiliki komitmen tinggi untuk menelurkan hasil optimal. Mulai dari tahap budidaya, pascapanen, hingga pengolahan. Kesulitan mempertahankan brand equity memang jamak ditemui di Indonesia. Dari tingkat pekebun saja, lantaran keterbatasan pengetahuan dan modal wajar bila mereka sulit diharapkan memiliki komitmen tinggi. Demikian pula pada rantai pemasaran selanjutnya. Namun, tak berarti kita harus menyerah pada keadaan. Diakui dunia Indonesia memiliki segudang potensi. Inilah yang perlu digali dan terus diasah agar kemajuan di bidang pertanian bukan impian semata. ***