Budidaya Maskoki: Empat Lakon YB Hariantono

  • 4 min read

Sibuk, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan aktivitas Hari panggilan akrab YB Hariantono saat menjalani semua Sebut saja ketika berprofesi sebagai juri. “Minggu ini saya diundang menjadi juri kontes maskoki di Surabaya,” ucap Hari ketika dihubungi Trubus per telepon sebulan silam. Dua pekan berikutnya, Hari sudah berada di Singapura. Bersama 2 juri lain asal Cina dan Singapura ia menjadi penilai di Fancy Goldfish Contest 2004 di kawasan Sungeitengah. Sebagai hobiis, usai pulang kerja dan bercengkerama bersama anak istri, Hari disibukkan dengan kegiatan mengurus sekitar 60 ranchu berukuran 4 sampai 5 cm. Ranchu-ranchu itu ditaruh di bak berukuran 1,2m x 2m. Mulai dari menyipon, memberi pakan, dan mengecek kesehatan ikan dilakukan sendiri. “Paling tidak sejam, khusus saya sediakan untuk ikan-ikan pilihan itu,” ucap kelahiran 27 Oktober 1966 itu. Di luar maskoki, kesibukan Hari sudah padat. Alumnus SMU Santo Albertus Yusuf di bilangan Dempo, Malang, Jawa Timur, itu memegang jabatan penting di Bank Permata sebagai General Manager Information Technology. Posisi itu sangat menguras pikiran. Berbagai inovasi teknologi perlu dirancang untuk meningkatkan kualitas pelayanan pada seluruh nasabah. Belum termasuk beban tanggungjawab operasional dan keamanan untuk perangkat lunak dan keras di semua jaringan Bank Permata. “Semua itu perlu konsentrasi tinggi,” ujar Hari menyikapi semua aktivitasnya itu. Meski demikian keberpihakan pada maskoki tidaklah main-main. Olahraga golf yang wajib dilakukan pejabat bank untuk melobi nasabah dikesampingkan. Acara yang biasa berlangsung Sabtu dan Ahad itu diganti dengan melongok farmnya. “Beberapa stick golf pemberian kantor, saya biarkan saja di pojok rumah,” ujar Hari. [caption id=“attachment_20649” align=“aligncenter” width=“1511”] Hasil tangkaran Hariantono cukup berkualitas[/caption]

Berawal Dari pameran

Kesukaan alumnus Teknik Elektro Institut Sepuluh Nopember Teknologi Surabaya pada klangenan bertampang jenaka itu bermula dari pameran maskoki di Plaza Bintarojaya pada 1993. “Karena dekat rumah, setiap hari pameran itu saya kunjungi,” ujarnya. Sejak itu keinginan mengoleksi kerabat ikan mas itu menancap di hati. Menurut Hari tidak gampang mengoleksi maskoki itu. Apalagi berkualitas kontes. Atas jasa seorang kawan, akses ke para kolektor maskoki pun didapat. Belasan lionhead dari kolektor di Bandung adalah koleksi pertama. Jenis itu dipilih karena saat itu menjadi tren. Sejak itu kesibukan mengecek kualitas air dan membersihkan akuarium menjadi pekerjaan baru. Sejurus menjadi hobi berat, setiap pertemuan antarkolektor maskoki yang diadakan sebulan sekali pun didatangi. Bagi ayah Fredrica Cynthia Dewi itu berkongko-kongko dengan pemain senior yang tergabung di Klub Maskoki Jakarta berarti menimba pengetahuan. Mulai dari perawatan, penangkaran, dan kehadiran jenis-jenis maskoki baru. “Saya jadi lebih paham tentang maskoki,” ujarnya. Keterlibatan itu kemudian mengantarkannya menjadi ketua Klub Maskoki Jakarta pada 2000. “Kepengurusan klub dikukuhkan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso,” tutur suami Maya Dewi itu. Sebagai ketua klub Hari dituntut berperan aktif. Ia harus bisa mempromosikan maskoki sebagai klangenan menarik. Untuk itu ia selalu mengajak para hobiis bergabung untuk saling bertukar pengalaman. Selain itu simulasi lomba pun sering digelar di farmnya. Sebut saja yang baru dilakukan pertengahan Maret lalu. Menghadapi lomba ranchu top view yang marak digelar, beberapa hobiis bersama-sama belajar menilai kualitas dengan standar internasional.

Mulai Coba coba menangkar

Di sela kesibukan, YB Hasiantoro sanggup menjalani 4 lakon Bertahun mengoleksi Carrasius auratus, belakangan keinginan menjadi penangkar semakin kuat. “Rasanya ada kenikmatan tersendiri jika bisa memijahkan sampai membesarkan ikan. Apalagi kalau jadi juara,” papar Hari. Sebab itu pada 1998 sepetak lahan seluas 300 m2 dibangun beberapa kolam berukuran masing-masing 2 m x 2 m. Farm berjarak 10 menit berjalan kaki dari rumah itu diisi aneka jenis maskoki: lionhead, ranchu, pompom, oranda, butterfly, tossa, dan mata balon. Calon-calon induk itu diperoleh langsung dari penangkar di Cina setelah dipesan melalui situs. Beberapa peternak tradisional diajak serta menangkarkan. Itu gara-gara ucapan yang keluar dari hobiis Singapura yang bangga terhadap kualitas maskoki di negaranya. Hari pun merasa tertantang. “Peternak Indonesia pun bisa menghasilkan ikan bagus,” ujar pria berkacamata itu. Sejak 2001 beberapa peternak di Tulungagung, Jawa Timur, diberi indukan berkualitas. Sayang usaha itu kurang berhasil. “Saya tidak sempat mengontrol kualitasnya. Hasilnya masih jelek,” ujarnya. Saat mengadakan kunjungan mendadak, indukan yang tidak disuka malah ditelantarkan oleh peternak. Musibah besar sempat mendatangi Hari pada 2003. Entah mengapa tingkat kematian induk dan anakan di farm melonjak pesat. “Kematian ikan sampai 80%,” ujarnya. Jumlah kematian besar itu sempat membikin frustasi. Setelah ditelusuri, penyebabnya kualitas air. “Kadar mangan dan besi ternyata terlalu tinggi,” ujar mantan karyawan Bank Bali itu. Sebab itu ia kemudian mengangkut semua ikan ke farm baru sekitar 15 menit berkendaraan dari lokasi pertama. Untuk urusan pemeliharaan dan perawatan sehari-hari, Hari kini mempercayakannya pada 3 orang pekerja. “Mereka bisa diandalkan,” ujarnya. Hari hanya menengok farm baru itu pada akhir pekan. “Kalau tak sepenuh hati memelihara maskoki bukannya menghilangkan stres, malah tambah stres,” ujarnya sambil tersenyum.