Budidaya Padi: 13,5 ton/ha dari Padi Batang Samo
- 3 min read
Januari tahun ini memberikan kebahagiaan tersendiri bagi Sumaji, ketua kelompok tani Mugi Rezeki, Bekonang, Sukoharjo. Sementara petani lain hanya mendapatkan 4-6 ton/ha, pria asal Desa Mojolaban itu mampu mendulang 13,5 ton padi/ha.
Cerita itu berawal dari ajakan Funta dari CV Marindo yang berniat menguji coba penanaman batangsamo di Jawa Tengah. Pilihan jatuh ke Sumaji. Tawaran itu disambutnya dengan tangan terbuka. Selang 2 bulan, tepatnya Oktober 2014, ayah 3 orang anak itu mulai menanam batangsamo.
Lahirnya Padi batangsamo
Padi ini memiliki batang yang tebal dan berwarna hijau tua. Padi Batangsamo termasuk ke dalam kelompok padi-padian yang dikenal dengan nama Latin Oryza sativa ,Padi Batangsamo sangat cocok untuk daerah dengan iklim kering dan lembap.
Padi Batangsamo memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis padi lain, seperti produktivitas yang tinggi, kualitas beras yang baik, dan hasil panen yang relatif lebih cepat.
Batangsamo lahir dari hasil tangan dingin para peneliti Balai Pengkajian Tanaman Pangan (BPTP) Riau: Satoto, Parlin H Sinaga, Bestina dan rekan. Mereka menyilangkan tetua yang berasal dari Cina dengan tetua-tetua lokal sehingga diperoleh varietas baru yang tahan penyakit. Tetua yang diintroduksi dari negeri Tirai Bambu itu berupa galur yang memiliki produktivitas tinggi.
Padi blasteran Indonesia-Cina itu bisa dipanen pada umur 98-105 hari. Sungai Batangsamo yang terdapat di Riau disematkan namanya pada galur H S 1177. Dalam satu rumpun terdapat anakan produktif 11-14 batang. Lebar daun 5 cm, lebih lebar 2 cm daripada IR64. Ukuran malai sangat panjang, mencapai 30 cm dengan jumlah gabah per malai 240-280 butir.
Tanaman dengan tinggi 103 cm itu didesain untuk menentang wereng cokelat, hama putih palsu, dan tungro. “Ternyata batangsamo tahan terhadap musuh-musuh besar petani padi,” ujar Sumardi Suriatna, salah seorang yang membidani batangsamo sekaligus kepala BPTP Jawa Tengah. Padi berbulir ramping itu pun tahan rontok dan rebah.
Soal rasa, “Orang Indonesia di luar Sumatera banyak yang gemar makan nasi pulen. Oleh karena itu kami selain mendesain varietas berproduksi tinggi, tahan hama penyakit, juga memperhatikan selera sebagian besar penduduk Indonesia,” kata Sumardi.
Optimalkan budidaya padi
Sifat benih yang bagus tak ada artinya jika cara budidaya salah. Sumaji pun menyadari hal itu. Untuk 1 ha lahan diperlukan 20 kg benih. Penanaman dimulai dengan pengolahan lahan. Ia memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk. Jarak tanam 20 cm x 20 cm. Selang 7 hari setelah penanaman, dilakukan pemupukan dengan dosis 1 kuintal Urea, 1 kuintal ZA, dan 3 kuintal ponskha.
Penanaman Padi batangsamo dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun cara yang paling umum adalah dengan menggunakan bibit padi yang telah ditanam di sawah sebelumnya. Bibit padi yang telah ditanam di sawah sebelumnya akan membentuk batang padi yang baru. Proses penanaman padi batangsamo biasanya dilakukan pada musim penghujan, di mana curah hujan yang tinggi akan membantu pertumbuhan batang padi baru.
Padi di lahan Sumaji relatif cepat tumbuh. Itu berkat zat pengatur tumbuh alami berbahan baku urine sapi yang diracik sendiri. Urine sapi dicampur empon-empon, jahe, kunyit, dan buah mahoni dapat mempercepat pertumbuhan.
Campuran itu juga efektif sebagai pestisida nabati. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan, pengairan pun tetap dijaga. Keberhasilan Sumaji menuai 13,5 ton/ha disambut antusias oleh petani-petani lain. Mereka pun berniat menanam batangsamo. Namun, sayang persediaan benih masih sedikit sehingga harga pun tinggi, Rp40.000/kg. Saat ini BPTP hanya mampu memproduksi benih padi unggulan berkualitas bagus 1 ton/ha. Seandainya satu kali produksi dihasilkan 2 ton/ha, otomatis harga benih turun sekitar 50%. Hal itulah yang kini sedang diusahakan oleh para peneliti.
Selain menghasilkan batangsamo BPTP Riau pun menghasilkan batangkampar. Di Sumatera batangkampar lebih populer, karena masyarakat Sumatera cenderung menyukai rasa nasi pera. Sedangkan batangsamo banyak dikembangkan di luar Sumatera karena rasanya yang pulen.
Di Pulau Jawa batangkampar pertama kali dikembangkan di Soropadan, Temanggung. Penanaman dilakukan wakil Gubernur Jawa Tengah. Hasil yang diperoleh 9,36 ton/ha.