Cara Hobiies Majalaya Saingi Koi Impor
- 4 min read
Koi lokal sebenarnya berasal dari indukan impor yang disilang di sini. Turunannya disebut koi berkualitas apabila mendekati ciri-ciri impor. Itulah yang dilakukan peternak di Blitar, Jawa Timur. Jejak peternak di kota yang terkenal lantaran tempat peristirahatan terakhir sang proklamator, Soekarno Sampai Kepala Negara Republik Indonesia I itu sekarang ditiru Bandung. Sejak 2002 koi lokal asal Kota Kembang itu membanjiri pasar Jakarta. Sebagai contoh, Setiadi. Peternak yang memiliki lahan seluas 3 ha itu memiliki 33 kolam ukuran 2,5 m x 11 m dengan ketinggian 1 Sampai 2 m. Dari farm di Cipeujeuh, Pacet Sampai sekitar 30 km ke arah selatan pusat kota Bandung Sampai setiap bulan sekitar 1.000 koi menyebar ke hobiis di Bandung dan Jakarta. Ke Sampai 33 kolam itu belum termasuk kolam tanah seluas 1.500 m2. Kolam berkontur terasering itu dipakai untuk pendederan hingga berumur 2 Sampai 3 bulan atau ukuran 7 Sampai 8 cm. Bila produksi melimpah, kolam milik peternak di sekitar lokasi siap menampung dengan pola kemitraan.
Jaga mutu
Setiadi yakin mutu koi lokal setara dengan impor asal dirawat dan diberi pakan bermutu. “Tentu saja seleksi harus ketat agar koi teijamin kualitasnya,” ujar ayah 2 anak itu. Seleksi awal pada pemilihan induk. Pejantan dan betinanya harus benar-benar bermutu agar turunannya sesuai harapan. Itulah sebabnya, ia mengimpor induk pilihan dari Jepang. Induk lain diperoleh dari peternak lokal yang terseleksi kualitasnya. Stok induk yang dimilikinya terdiri atas 50 pejantan dan 20 betina berukuran 40 Sampai 60 cm. Jenisnya beragam, mulai kohaku, sanke, showa, sampai chagoi pun ada. Jenis kelamin berbeda dipelihara di bak terpisah. Pemijahan hanya dilakukan ketika induk benar-benar siap kawin. “Induk harus berkualitas untuk mendapat keturunan yang bermutu. Betina kurang bagus tidak masalah asal pejantannya benar-benar terpilih. Cuma hasilnya, persentase muncul yang bagus kecil,” ucap hobiis koi sejak 1993 itu. Jenis koi pun turut andil untuk mendapatkan yang berkualitas. Contohnya, bila induk kohaku maka persentase muncul jenis sama sekitar 80%; sisanya showa, sanke, dan polos. Bentuk tubuh tak luput dari perhatiannya. Oleh karena itu ia selalu memilih induk yang mempunyai tubuh panjang, bulat, dan gilig. “Kalau mengacu tren di Jepang, tubuh tebal dan memanjang,” ujarnya.
Seleksi ketat
[caption id=“attachment_2964” align=“alignleft” width=“173”] Induk terpilih untuk mendapat keturunan berkualitas[/caption] Walaupun bisa dilakukan sepanjang tahun, Setiadi memilih waktu yang baik untuk pemijahan. Musim penghujan pada November April kurang tepat untuk perkawinan karena risiko gagal besar. Hawa dingin menimbulkan banyak kematian. Anakan yang diperoleh pun sedikit sehingga kurang ekonomis. Meski demikian, pemijahan tetap dilakukan bila ada pesanan. Konsekuensinya, produksi turun sehingga jumlah ikan yang terpilih sedikit. Pertumbuhan lambat dan warna kurang bagus menjadi risiko yang harus ditanggung. “Yang paling riskan pendederan di kolam tanah. Kematian burayak tinggi,” kata Setiadi. Seleksi ikan ekstra ketat dilakukan sejak umur 4 bulan atau berukuran 5 Sampai 7 cm. Semua koi terseleksi dipindah sesuai jenis ke kolam bak. Pola yang penting pada seleksi awal. “Dari sekali pemijahan 6.000 ekor, hanya 10% saja yang bercorak, sisanya polos,” kata peternak ikan mas itu. Koi siap panen berumur 7 bulan atau ukuran 10 Sampai 15 cm. Pada saat itu pula dilakukan sortir kedua. Paling banter hanya diperoleh 10% saja yang tergolong sangat bagus. Koi itulah yang dikirim ke pelanggan di Jakarta. Sisanya diambil pedagang lokal. Pada seleksi kedua selain warna, juga pola dan bentuk fisik. Koi dianggap baik bila kepala tidak terlalu besar atau kecil. Tidak terlalu tebal, punggung menyudut sirip mekar dan tidak bengkok. Warna harus dipantau terus karena bisa berubah kelak di kemudian hari.
Air tanah
Kualitas koi memang tidak mutlak ditentukan asalnya. Cerahnya warna akan berubah jika lingkungan kurang mendukung. Sebaliknya prima bila cocok. Rupanya air tanah di lokasi farm Setiadi cocok untuk pertumbuhan koi. Sayangnya, warna kurang kontras. “Di sini memang dipacu untuk produksi. Urusan warna bisa dipoles di showroom. Yang penting pattern-nya bagus,” ujar Setiadi. Pernah kejadian pada 2000, Setiadi memanfaatkan aliran air sungai untuk memelihara koi. Begitu herpes mengintai, 50 koi ukuran 30 cm tak terselamatkan. Sejak itulah, ia kapok memakai air sungai. Untuk pembesaran dipakai air tanah. “Meski debit kecil, koi butuh air baru agar nafsu makannya meningkat,” katanya. Untuk mencegah kejadian terulang, kolam tanah dikeringanginkan selama 2 Sampai 3 hari begitu usai dipanen. Kalau ada lumut ditaburi 30 kg kapur. Demikian pula kolam bak, disikat, direndam dengan larutan PK 1 ml/liter air, dan dikeringkan sebelum dipakai untuk membesarkan koi. Kontrol kesehatan menjadi agenda setiap hari. Begitu melihat kulit koi terlihat memerah segera dipisah dan diobati dengan larutan Tetrasiklin, dosis 0,25 g/ liter air. Pengangkutan antarkota pun tidak sembarangan. Kalau dulu setiap kantong diisi hingga 10 ekor tidak menjadi problem. Kini, setiap kantong cukup untuk 3 ekor. Bahkan, sebelum dikirim ikan harus dikarantina selama 2 minggu sebelum dikirim. Semua itu dilakukan untuk menekan kematian sekaligus menjaga mutu koi.