Di Bali Ikan Pembawa Hoki Menuju Puncak

  • 5 min read

Masyarakat Bali tengah gandrung lou han. Kelompok pencinta lou han dibentuk, kontes perdana digelar, dan volume penjualan ikan hias pembawa hoki itu melambung hingga 100%. Pedagang bermunculan di sana sampai sini. Di pulau seribu pura itu lou han tengah menuju puncak tren. Factory outlet di tepi jalan utama di bilangan Kuta, Bali, itu akhirnya ditutup Februari lalu lantaran sepi pengunjung. Rak sampai rak kayu yang semula dimanfaatkan untuk memajang pakaian dimodifikasi oleh Aseng sebagai akuarium lou han. Praktis ruangan 30 m x 20 m itu penuh akuarium. “Saya melihat ada peluang di lou han,” ujar anak ke sampai 2 dari delapan bersaudara itu. Di depan gedung berlantai 2 itu terdapat papan nama 2.5 m x 1 m bercat merah. Gambar lou han tampak jelas dari kejauhan. Di bagian bawah terdapat tulisan singkat: Be Jegeg (bahasa Bali: be dibaca seperti pada kata belasungkawa=ikan, jegeg=cantik, red). Di situlah Aseng membuka pusat penjualan lou han.

Diserbu hobiis

Usai jam kerja atau pada akhir pekan tempat penjualan lou han itu disesaki pengunjung. Pemandangan serupa Mitra Usaha Tani saksikan ketika berkunjung ke Pasar Burung Satria di Denpasar. Puluhan orang silih sampai berganti datang di kios Be Gajor (bahasa Bali: gajor= sejenis ikan gabus, red). Kios berukuran 8 m x 5 m itu terasa sesak. Pemilik kios, I Nyoman Edi Wisnaya, tampak kewalahan melayani pembeli. Padahal alumnus Universitas Warmadewa itu dibantu 2 karyawan. Sebagian pengunjung membeli lou han, yang lain mencari aksesori akuarium. Orang Bali tengah demam lou han, begitulah kesimpulan Aseng dan Edi senada. Mereka cepat mengendus peluang itu. Sebelumnya Edi menyediakan ikan hias air tawar lain seperti cupang. Namun, ketika tren cupang menukik, anak ke sampai 3 dari 4 bersaudara itu melirik lou han. Yang juga menggeluti lou han adalah Made Dicky Sumitra Yasa. Sebelum Kuta dilumat bom pada 12 Oktober silam, ia banyak mengerjakan proyek properti. Namun, sejak pengeboman itu proyek yang ditangani melorot. “Kalau dulu 80% di bangunan dan 20% lou han, sekarang terbalik,” ujar arsitek alumnus Universitas Trisakti itu. Pusat penjualan lou han bermodal Rpl00 sampai juta yang dibuka pada Agustus 2002 itu akhirnya lebih ditekuni.

Karena kontes

Dampak dari demam lou han itu dirasakan betul oleh pedagang. I Gde Anom Santika, umpamanya, pada bulan pertama membuka kios Januari 2003 di Jl. Gatot Subroto hanya mampu menjual beberapa ekor per bulan. Namun, 2 bulan terakhir ia melepas lebih dari 70 ekor sebagian besar ukuran 5 cm per bulan. Alumnus Teknik Mesin Universitas Surabaya itu melepas Rpl50.000 sampai Rp200.000 per ekor. Investasi yang dibenamkan Rp50 sampai juta diharapkan kembali setelah penyelenggaraan kontes pada bulan ini. Lonjakan permintaan hingga 100% dinikmati pula oleh I Nyoman Edi Wisnaya. Tahun lalu ia hanya mampu menjual puluhan ribu ekor ukuran 5 cm per bulan. Rata sampai rata sarjana ekonomi itu menjual Rp25.000 per ekor. Sementara ikan besar hanya puluhan ekor. Sejak Maret April volume penjual terus meroket hingga 100%. Beberapa pedagang lain di Bali yang dihubungi Mitra Usaha Tani juga mengatakan ada lonjakan permintaan 40 100%. Omzet yang ditangguk Dicky meningkat 40% menjadi Rp60 sampai juta per bulan. Dari jumlah itu 40% di antaranya andil penjualan aksesori akuarium. Pantas jika, “Jumlah pedagang tiap minggu bertambah. Dengan begitu pemain tambah banyak,” ujar Anom. Hal senada diungkapkan Aseng. “Seperti jamur pada musim hujan. Sampai sampai sampai show room mobil juga menyediakan lou han. Di setiap sudut kota ada pedagang,” ujar perajin perak yang mantan pedagang asongan di Pantai Kuta itu.

Meningkatnya permintaan itu antara lain dipicu oleh rencana Dewata Lou Han Club menggelar kontes perdana pada 20 sampai 22 Juni 2003. “Mereka mulai datang dan mulai beli untuk persiapan kontes,” ujar Anom Santika. Pengamatan Made Dicky Sumitra Yasa di kiosnya sama saja. “Banyak pembeli bermuka baru,” tutur pemilik Q sampai Aquarium itu. Padahal, sebelum Januari 2003 sentra penjualan lou han sepi. Ketika lou han baru diperkenalkan setahun silam,konsumen sangat tidak antusias. Masyarakat Bali menyangka lou han sebagai gurami sehingga heran saat dijual mahal. Itu berlangsung hingga 6 bulan. Namun, pembentukan Dewata Lou Han Club pada 8 April 2003 seolah memompa gairah hobiis. Dibentuknya organisasi pencinta lou han, rencana kontes, dan melonjaknya permintaan ditengarai sebagai gejala lou han di pulau Dewata menuju ke puncak tren. “Sekarang di Bali (lou han) justru menuju puncak. Di bali kan baru mulai,” ujar Aseng yang juga pehobi motor gede itu.

Dari Surabaya

Pedagang di Bali mengandalkan pasokan dari importir di Jakarta atau Surabaya. Menurut beberapa pedagang besar di sana, tak ada satu importir pun di Bali yang mendatangkan langsung dari Malaysia atau Thailand. Yang diminati umumnya jenis lama seperti gianthead dan bluetiger. Meski demikian kamfa yang masih digandrungi di kota sampai kota besar di Jawa tetap diburu. Jika dibandingkan di Jawa, tren lou han 5 di Bali agak terlambat. “Karena sentra lou | han paling ramai sekarang di Surabaya. Lou han dari Surabaya larinya ke Bali,” ujar Karim Husin, importir di Jakarta. Ia menegaskan secara umum harga lou han saat ini menurun, sehingga masyarakat Bali lebih antusias. Misalnya, pada Februari 2002 harga seekor cenchu 3 inci mencapai Rp800.000. Namun, saat ini ikan sama hanya dijual Rp 150.000 sampai Rp200.000. Aseng memprediksi tren lou han di Bali mampu bertahan 5 sampai 6 tahun. Syaratnya, kontes rutin diselenggarakan dan muncul strain baru “Saya kira 5 sampai 6 tahun masih kuat. Di Jakarta, lou han sejak 1999 sampai sekarang (4 tahun, red) masih bertahan,” katanya. Sedangkan bagi Dicky kelangsungan lou han dipengaruhi sektor pariwisata. Pasalnya, sektor itu ibarat urat nadi bagi Bali.