Durian Bulungan: Saat Purnama Manjakan Lidah

  • 4 min read

Begitulah penduduk Kabupaten Bulungan menyebut durian durian andalannya. Begitu 3 nama itu disebut, spontan para pedagang dan pengepul yang sejak sore menggelar dagangan di Jalan Sudirman, tepi Sungai Kayan berlarian menuju perahu. Tawar menawar harga pun menjadi tontonan menarik di pekat malam. Setelah harga disetujui, berayut, tringgiling, dan kaleng langsung dijajakan di tepi jalan. Pasar buah yang digelar setiap malam di tepi Sungai Kayan memang ramai sejak Oktober hingga akhir Februari. Berayut, tringgiling, dan kaleng menyesaki Tepi jalan sepanajng 1-2 km itu bersama buah-buahan lain. Meski harga jual relatif mahal, Rp45-ribu-Rp50-ribu per 2 buah, Durio zibethinus asli Bulungan itu tetap menjadi primadona lapak-lapak buah di Tarakan. Tak hanya di daerah asal, tapi juga hingga kabupten tetangga seperti Malinau, Berau, dan Nunukan. Di tengah keramaian pasar, Mitra Usaha Tani mencicipi kelezatan durian berayut.

Durian berayut

Di antara semua raja buah yang dijajakan, berayut paling digemari. Itu lantaran jaatu-bahasa Dayak untuk durian-berayut bersosok bongsor dengan duri besar berwarna hijau walaupun telah matang. “Silakan dicoba,” kata Nurdin, salah seorang pedagang mempersilakan Mitra Usaha Tani. Saat kulit dibuka, aroma khas durian berayut langsung menguar. Setiap salat-sebutan juring dalam bahasa Dayak-berisi 2-3 pongge. Saat dilahap, rasa manis bermentega langsung terasa. Daging buah halus, empuk, dan cukup berair. “Hm… tebal dan manis banget” ucap Ir Luthfi Bansir, staf Dinas Pertanian Kabupaten Bulungan, yang turut mencicipi berayut bersama Mitra Usaha Tani. Kata berayut memang pantas melekat padanya. Berayut, diambil dari nama tas gendong orang Dayak Kenya yang terbuat dari rotan dan berukuran besar. “Saking besarnya durian itu sehingga hanya muat 1 buah saja di dalam tas,” tutur Muh Sa’ad, pekebun di Kampung Tua, Desa Penisir, Bulungan. Menurut Sa’ad bobot berayut bisa mencapai 4-5 kg/buah dengan diameter 30-40 cm. Menurut pria bertubuh kurus itu bila musim buah tiba, 5-10 pohon induk di kebunnya berbuah lebat. “Satu pohon bisa menghasilkan lebih dari 100 buah,” ucap Sa’ad. Maklum, pohon setinggi 30-50 m itu telah berumur ratusan tahun. Untung Rp 1-juta pun ditangguk dari kebun seluas 3-5 ha di Tanjungpalas dan Desa Penisir, Bulungan Berayut melanglangbuana hingga ke Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di sana, berayut laku terjual Rp45.000- Rp50.000 per 2 buah. Menurut Luthfi pohon berumur puluhan hingga ratusan tahun itu tidak pernah dirawat. Jangankan pemupukan dan pemangkasan, penyiraman pun tidak pernah diterapkan. “Semuanya diserahkan kepada alam,” katanya. Para pemilik pohon di sentra-sentra penanaman seluas belasan hektar di sepanjang Sungai Kayan seperti Desa Pasir, Tanjungpalas, Buluperindu, dan Gunung Seriang, pun hanya menunggu buah jatuh dari pohon yang menjulang tinggi.

Durian tringgiling

Walaupun tak setenar berayut, jaatu tringgiling tetap dikembangkan. Di kebun Muh Sa’ad misalnya terdapat 2-3 pohon durian tringgiling. Sosok pohon lebih kecil dibanding berayut. Menurut pengalamannya masa panen tringgiling lebih lambat 1-2 bulan dibanding berayut. Keunikan tringgiling terletak pada sosok buah. Tak seperti durian biasanya, buah tampak melengkung di dekat pangkal tangkai. “Sejak muda hingga matang, durian ini tidak pernah lurus di bagian pangkal buah,” ucapnya. Mirip posisi tidur trenggiling-nama hewan yang hidup di sungai-yang melengkung bila disentuh. Sosok bongsor dipadu dengan duri besar menambah daya tarik tringgiling. Saat dibelah, masing-masing kamar- sebutan juring di Bulungan-berisi 3-5 pongge. Soal rasa, ia tak kalah. Tekstur daging buah lembut dan halus serta lengket di lidah. Rasanya seperti susu. Baunya tidak menyengat. Menurut Sa’ad selain tringgiling, durian* belik-sebutan kaleng di Bulungan-juga digemari. Walaupun rasanya tak semanis dan selezat berayut, tapi daging buah tebal.

Durian salisun

Di Kabupaten Nunukan, berjarak 1 jam perjalanan menggunakan kapal cepat dari kota Tarakan ke arah utara, terdapat durian salisun. Nama salisun melekat lantaran ditemukan di Desa Nunukan Selatan, Kampung Salisun. Pohon induk berumur 36 tahun. Ia terkenal karena sosok buah bulat berdiameter hingga 30-50 cm. Bobot salisun pun mencapai 2-3 kg/buah.Kulit hijau keperakan dihiasi duri besar dan rapat. Durian berpongge 5-7 itu memiliki aroma harum. “Inilah keistimewaan salisun. Harum, manis, dan tebal,” ujar Ir Suwono Thalib, kepala Dinas Pertanian Kabupaten Nunukan. Kelezatan salisun kesohor hingga Tawau, Sebuku, Sebatik, Bulungan, dan Malaysia. Nah, bila suatu ketika pada Oktober-Februari Anda berkesempatan ke Bulungan, jangan lupa berkunjung ke pasar malamnya. Berayut, tringgiling, kaleng, bahkan salisun siap memanjakan lidah Anda.