Gemerincing Rupiah Berkat Salak Pondoh

  • 6 min read

Jam menunjukkan pukul 04.00. Beberapa pick up sarat muatan memasuki pelataran pasar salak Banjarnegara. Kedatangan mereka disambut barisan “wakil’’ pengepul untuk berebut menawar. Begitu transaksi selesai, mobil lain pang datang-berlanjut hingga pukul 9.00-diperlakukan sama. Total salak masuk mencapai 20 ton. Saat panen raya minimal 100 ton per hari. Dengan harga Rp4.500 per kg, omzet berputar mencapai Rp90-juta-Rp450-juta per hari.

Tumpukkan salak dalam keranjang bambu atau peti itu tak lama-lama parkir di pasar Banjarnegara. Begitu turun dari pick up, buah langsung dibongkar dan disortir pengepul. Oleh pengepul dikelompokkan menjadi kelas A, B, dan C. Kelas A berisi (10-14 buah), B (15-17 buah), dan C (18-20 buah). Salak hasil sortir dikemas lagi dalam peti berbobot 40 kg. Pengemasan dengan keranjang biasanya dipakai untuk pengiriman jarak dekat. Pukul 12.00, buah bersisik itu dikirim ke berbagai tempat seperti Jakarta, Surabaya, Bekasi, Jatibarang, Banjarmasin, dan Batam

Kondisi serupa teijadi di Pasar Turi dan Tempel, Sleman. Kedua pasar di sentra salak itu, menjadi tujuan jual beli pekebun dan pedagang.

Penjual yang datang, tidak hanya sekitar Sleman-tempat asal pondoh- tetapi juga dari Nglumut, Magelang atau Kulonprogo. Seperti halnya Banjarnegara, di pasar itu juga tak kurang puluhan ton terjadi transaksi setiap hari. Namun, jumlah itu belum menggambarkan total salak yang beredar di Sleman. Pasalnya, di Sleman banyak pengepul beromzet puluhan ton melakukan transaksi di tempat masing-masing.

Salak Pondoh

Pondoh paling diburu.

Salak Pondoh Semakin Banyak diburu

Meski banyak jenis salak yang masuk ke pasar itu, pondoh paling diburu karena kualitas istimewa. Pondoh rasanya manis sementara salak lain ada sepatnya. Salak itu juga manis jika dipetik muda. Dengan alasan itu, wajar bila ia lebih diterima pasar.

Jenis lain, seperti lumut dan gading, juga masuk pasar, tapi jumlahnya sangat sedikit. Gading pendatang baru yang agak masam dan sepat. Kecuali itu, rasa buah agak kecut dan sepat. “Lumut ukurannya rata-rata lebih besar, tetapi manisnya kalah dibanding pondoh,” ungkap Suharman, pekebun dan pedagang pondoh di Tempel, Sleman.

Menurut Ny Nur Hadi Siswanto, pengepul asal Tempel, Sleman, nglumut itu pondoh juga. “Pondoh yang dipetik cukup umur akan besar juga,” ujarnya. Itu sebabnya, di tempatnya tidak dibedakan pondoh dan nglumut. Grading berdasarkan ukuran, umur petik, dan rasa.

Eksport Ke Thailand

Rasa buah yang relatif bisa diterima lidah semua orang membuat pondoh begitu kesohor. Ia mudah ditemukan di kota-kota besar yang notabene jauh dari sentra di Banjarnegara dan Sleman. Di Jakarta Salacca edulis itu seperti menjadi buah wajib yang harus ada di semua toko buah. Salak itu juga dijajakan ditenda-tenda pinggir jalan atau terminal bus. Harga di tempat seperti itu berkisar Rp7.500- Rp9.000 per kg.

Di pasar swalayan buah kerabat palem itu dijual lebih dari Rp 10.000 setiap kg. Di Bogor, selain di pasar swalayan dan kios buah , pondoh dijual di Jl. Raya Pajajaran atau Jl. Baru dengan menggunakan mobil bak terbuka bertuliskan, “Jual Salak Pondoh”. Di Bandung, konsumsi pondoh terhitung tinggi. Untuk seorang pengepul, Ny Nur Hadi mengirim tak kurang 1 ton per hari.

Tak melulu lidah lokal, konsumen luar juga ikut mencicipi. Di antara rombongan wisatawan yang datang ke tempat Ny Nur Hadi Siswanto di Sleman, sering menjadikan pondoh sebagai buah tangan ke negaranya. Di hotel berbintang lima seperti Melia Purosani, Yogyakarta, pondoh salah satu yang rajin disajikan. Thai Airways menyuguhkan pondoh dalam perjalanan Jakarta-Bangkok

Kalau pondoh melanglang buana itu berkat sinergi antara pekebun, pengepul, dan pedagang antarkota. Setiap hari pada musim panen, dari pasar dan beberapa tempat di Sleman keluar 100 ton lebih untuk pengiriman ke luar kota. Pedagang tak kesulitan memasarkan, malah konsumen di daerah tujuan sudah menanti-nanti pasokan.

Sekadar contoh, Ny Nur Hadi Siswanto, setiap hari 10-12 ton ia mengirim ke Bandung, Jambi, Medan, dan kota-kota di Kalimantan. Hal sama dilakukan Darsono di Wonosobo, untuk memenuhi 1 ton per hari pasar di Wonosobo dan Temanggung, setiap hari mesti bolak-balik ke Banjarnegara.

Dari penjualan itu, rata-rata pengepul memperoleh keuntungan Rp 1.000/ kg. Perhitungannya, harga (borong) satu keranjang berbobot 40 kg dari penjual Rp240.000 atau Rp6.000/kg. Setelah disortir, dari 1 keranjang itu berisi A=10 kg;B=10kg;danC=20kg. Dengan harga jual grade A,B, dan C masing-masing Rp8.000, Rp7.000, dan Rp6.500, diperoleh hasil penjualan Rp280.000 per keranjang.

Pengepul di Banjarnegara, meski dengan harga jual berbeda, tapi keuntungan tetap sama dengan pengepul di Yogjakarta, yaitu Rp 1.000 per kg.

Pasokan seret

Pasokan kurang April-Oktober

Kendala Pasokan seret

Permintaan pasar lebih besar dari pasokan. Buktinya, berapa pun volume buah disetor pasti laku terjual. Edy Sumarno misalnya, pengepul dari Madukoro, Banjarnegara, di luar musim panen hanya kebagian 500 kg setiap hari. Ketika ia mendapat pondoh 3 ton per hari pun, ludes terjual. “Pasar saya 10 ton per hari,” kata Edy mantap.

Pasokan seret antara April-Oktober. Ny Nur Hadi misalnya, ia hanya mendapat 2 ton dari 10-12 ton permintaan. Dengan jumlah itu terpaksa mengurangi pasokan ke pembeli di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Hal sama dialami H.Syamsul, pengepul, dari pasar Banjarnegara. Ia terpaksa menghentikan pengiriman ke tempat lain karena pasokan 1 ton per hari hanya cukup untuk pembeli di Bekasi dan Jatibarang, Indramayu.

Itu sebabnya, ketika pasokan seret harga salak pondoh melambung dari Rp 5.000 per kg untuk grade A menjadi Rp8.000. Kualitas pun menurun. “Grade A pada waktu panen betul-betul A. Namun, diluar panen raya yang B atau C menjadi A,” tutur Ir Edy Sri Hermantri, Kasie Bina Program Hortikultura Kabupaten Sleman. Di Sleman beberapa pedagang menentukan grade A (8-10 buah), B (13-15 buah), dan C (diatas 15 buah).

Tak heran bila kekurangan pasokan itu menjadi pemicu banyak orang menanam. Di Sleman, tempat asal mula pondoh, terjadi peningkatan areal dan populasi. Data dinas Pertanian Provinsi Yogyakarta menunjukkan, pada 1998 populasi 1.540.000 tanaman dengan produksi 19.622.100 kg. Pada 2001 populasi salak pondoh di Kabupaten Sleman mencapai 3 juta pohon.

Di luar Sleman, populasi pondoh juga meningkat. Di antaranya di Blitar ada 10 ha dan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat 5 ha.

Stok Salak Di luar musim

Bisnis salak pondoh memang menguntungkan. Suharman yang menjadi pekebun dan penjual bibit sejak 1975 itu, kini menuai hasil. Dimulai dengan 30 pohon tanaman salak berkembang menjadi 2.500 di lahan 1 ha. Begitu juga Ny Nur Hadi Siswanto, salak pondoh merupakan “pundi emas” keluarga yang terus-menerus memberikan keuntungan. Usaha lain sebelumnya seperti tembakau, kopi, cengkeh ditinggalkan. “Dari salak saya bisa hidup mapan,” tutur ibu 5 anak itu. Tidak berlebihan, 35 tahun bergelut dengan salak, ia memiliki rumah seluas 3.000 m2, kebun 3 ha, dan 5 mobil di antaranya Opel Blazer, Kijang, truk, dan 5 buah sepeda motor.

Sukses Ny Nur Hadi diraih karena bisnis salak yang dilakukannya tidak mengenal musim. Saat sulit salak pada Juni-Oktober, ia masih memperoleh pasokan dari tempat yang lebih tinggi di Sleman atau lereng Merapi. Menurut Suharman, tempat lebih tinggi (ideal 600 m dpi) dan berair tanah cukup, bisa menghasilkan salak di luar musim. Salak di luar musim berharga 2 kali