Gemerincing Rupiah dari Sebuah Gaya Hidup
- 6 min read
Kondisi itu berbalik 180° dengan keadaan 8 bulan silam. Kala itu kedatangan pria berkacamata itu ke kantor dengan kaki tertatih bukan pemandangan asing buat stafnya. Asam urat kerap menerjang persendian kakek 1 cucu itu. Belum lagi keluhan pusing-pusing akibat darah tinggi dan kolesterol tinggi. Penyakit “ringan” seperti influenza pun tak bosan menghampiri. Kalau sekarang ia kelihatan lebih segar dan awet muda, “Obatnya cuma mengkonsumsi sayuran, beras, dan susu organik,” cetus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di kabinet Gotong Royong itu. Sejak diperkenalkan produk organik oleh sang menantu, Sarwono langsung jatuh cinta. “Rasanya lebih manis, renyah, dan segar,” katanya. Sayuran dari penanaman cara biasa yang mungkin mengandung residu bahan kimia disingkirkan. Dampak yang paling terasa, badan bugar dan beragam penyakit sirna. Dengan tinggi 172 cm, bobot tubuh stabil di angka 70 kg tanpa perlu berolahraga keras. Temperamen pun menjadi lebih tenang dan toleran. Tanpa terasa sudah 5 tahun pria tinggi kurus itu melahap beragam produk organik.
Hidup sehat dengan produk organik
Yang juga ketagihan pada hasil panen pertanian alami itu, Irwan Hidayat. Bos jamu Sidomuncul itu bahkan menyediakan lemari pendingin berukuran jumbo untuk menyetok beragam sayuran dan telur organik. Maklum, seluruh anggota keluarga penyantap produk organik. Adalah Maria Reviani, putri sulung Irwan, yang pertama kali rutin mengkonsumsi. Kelahiran Jakarta 8 Maret 1976 itu mengenal produk organik ketika studi di sebuah universitas di Seattle, Amerika Serikat, pada 1994. Di minggu-minggu pertama kedatangan ke negeri Paman Sam itu Maria dikejutkan dengan banyaknya toko penyedia produk organik. “Mulai dari paprika, selada, beras, sampai sampo dan sabun ramah lingkungan ada,” katanya. Jadilah Maria yang amat peduli pada kesehatan menjadi pelanggan Health Shop, Organic Shop Environment, dan Friendly Environment. Ketika pulang ke tanah air, kebiasaan itu klop dengan sang ayah. Apalagi kemudian si bungsu dalam keluarga, Mario Arnaz Hidayat, mesti diet ketat akibat kelebihan bobot badan. Ia hanya boleh menyantap daging bebas lemak dan sayuran organik. Maka sejak 5 tahun silam keluarga besar itu menjadi penikmat produk-produk organik.
produk organik Dan Gaya hidup
Kondisi setali tiga uang, di kediaman Karina Suwandi. Model dan pemain sinetron itu senang menyantap makanan organik lantaran sudah terbiasa sejak kecil. Sang ayah, Ir Suwandi, yang menjadi pelopor . Penyanyi mungil yang piawai menari, Dewi Gita, pun gandrung mengkonsumsi produk-produk organik. “Selain lebih sehat, tubuh jadi lebih singset,” kata istri rocker Armand Maulana itu tentang dampak kebiasaan menyantap makanan sehat sejak setahun silam. Sederetan nama lain, seperti Sari Yok Kuswoyo, Ully Sigar Rusadi, Paquita Wijaya, dan Minati Atmanegara, merasakan khasiat serupa. Menikmati produk-produk organik, tak melulu gaya hidup para selebritis. Di Bandung, Yunita Budiono tertarik mengkonsumsi produk organik setelah membaca sebuah artikel di majalah 3 tahun silam. Sekali mencicipi, dosen Fakultas Arsitektur Universitas Parahyangan Bandung itu langsung ketagihan. Patrick L Stiady pemilik Mom’s Bakery di kawasan Progo, Bandung, dan pasangan dokter Ari Wibowo dan Maria Yulianti di Klojen, Malang, mengamini.
Laris manis
Seiring maraknya konsumsi produk-produk organik, gerai-gerai penyedia bahan makanan sehat itu pun bermunculan. Di Jakarta pembeli bisa menyambangi Ranch 99 Market, Matahari Cilandak Town Square, dan Carrefour Lebakbulus. Di Bandung ada Pasar Swalayan Griya dan Yogya. Produk organik mudah ditemukan di pasar swalayan Hero, Malang, dan Papaya, Surabaya (baca: Belanja Organik, di Sini Tempatnya, halaman 90—91). “Sekarang lebih mudah mendapat sayuran organik ketimbang 5 tahun lalu,” tutur Karina yang kerap berbelanja di Ranch 99 Market. Produk hasil pertanian ramah lingkungan itu pun laris manis. Buktinya, volume pasokan dari kebun Bukit Organik di Ciwidey, Pangalengan, ke pasar swalayan di kawasan niaga Warungbuncit itu meningkat 80% dari kiriman perdana pada Oktober 2003. Gerai Organik Mart di Pasarminggu, Jakarta Selatan, yang bani diresmikan pada November 2003 pun diburu pembeli. Sayuran, telur, daging ayam, dan beras organik ludes terjual. Itu bertolak belakangan dengan kondisi beberapa tahun silam. Waktu mencoba memasok ke pasar-pasar swalayan, “Mereka malah bertanya apa iya produk seperti ini bakal ada pembelinya,” tutur Wardah Alkatiri, pemilik PT Amani Mastra, pemasar produk organik bermerek Amani Organics. Peningkatan permintaan konsumen berimbas pada pekebun. Sebut saja, Megatani Farm di Cisarua, Bogor. Enam bulan silam order yang masuk ke meja Ishar, sang pemilik, hanya 250 kg per minggu. Kini melonjak jadi 250 kg per pengiriman, 4 kali per minggu untuk 40 item. Peningkatan itu membuat Ishar yang berkebun sejak 4 tahun silam memperluas areal penanaman dari 0,5 ha menjadi 1 ha. Ia pun bermitra dengan 10 pekebun.
Masuknya hobiis
Meski tren organik di masyarakat terbilang baru, “Sebenarnya konsep organik sudah lama ada,” ujar Ali Fatoni dari Amani. Menurutnya ada 3 fase perkembangan organik di Indonesia. Pertama, fase para pionir yang berlangsung pada 1970-an. Salah satu penggeraknya Elsener Adolf Agatho, pemilik Bina Sarana Bakti. Para pelopor itu menganut konsep organik sebagai sebuah filosofi keseimbangan alam. Fase berikutnya pada 1980-an yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Mereka terjun mengembangkan pertanian organik dengan bantuan dana dari luar negeri, misal Food and Agriculture Organization (FAO). Program yang paling populer saat itu ialah Program Pengendalian Hama Terpadu (PPHT). Fase terakhir, pada 2000-an. Di sini para hobiis mulai melirik pertanian organik sebagai peluang bisnis. Setelah berhasil di sektor budidaya, mereka mulai memikirkan pemasaran hasil. Pada fase ini, seminar dan pelatihan marak diselenggarakan. Termasuk di dalamnya pencanangan program “Go Organic 2010” oleh Departemen Pertanian.
Dua kubu
Melihat penyebarannya, pertanian organik terbagi dalam 2 kubu. Komoditas sayuran banyak berkembang di seputaran Jawa Barat, seperti Cisarua, Bogor; Lembang, Bandung, dan Ciwidey, Pangalengan, serta Jawa Timur. Sebut saja kebun percobaan Universitas Brawijaya di Cangar, Batu, yang mengusahakan 40 jenis sayuran, seperti kailan, pakcoy, wortel, dan kentang. Produsen lain, para pekebun di Tumpang dan Jabung, Malang, yang bergabung di bawah binaan LSM Mitra Bumi Indonesia. Mereka memproduksi buncis, jagung manis, babycom, tomat, dan brokoli. Sementara di Jawa Tengah, penanaman padi organik yang ramai. Bersama rekan-rekan di Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta, Ir Ahmad Musofie, MS, MM, membina pekebun di 2 dusun di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah,Yogyakarta. Sejak 1999 mereka mengembangkan padi organik di lahan 5,7 ha yang terisolir. Pun para pekebun di Kecamatan Sawangan, Magelang, yang dikomandoi Kabul Wiyanto. Lokasi penanaman terpisah dari budidaya secara konvensional. Itu memang salah satu syarat pertanian organik (baca: Satu Organik, Banyak Tafsir, halaman 94) Kabupaten Sragen malah menjadikan pengembangan padi organik sebagai program kerja daerah (baca: Kenangan Berulang di Sragen, halaman 96) “Permintaan pasar saat ini unlimited. Berapa pun ada pasti habis,” tegas Ali. Malahan sebagian konsumen akhirnya mencoba sendiri menanam. Peningkatan jumlah konsumen organik di dunia mencapai 20% per tahun. Permintaan ekspor yang masih belum terpenuhi. Kini dari sebuah gaya hidup, organik menebar sejumlah peluang.