Investasi bisnis Dalam Dunia Agribisnis

  • 8 min read

Jumat pertama September 2018. Jalan Veteran III di Desa Banjarsari, Ciawi, Bogor, mendadak ramai. Sekitar 40 mobil memenuhi pelataran parkir kantor operasional PT Larasindo Jaya Agritama (LJA). Lantai 2 gedung bernomor 60 itu tampak dipenuhi peminat Investasi bisnis bagi hasil itu. Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Investor Larasindo sedang berunding dengan pengelola mengenai “nasib” dana investasi. Mereka harus menerima kenyataan pahit, pengembalian modal dan keuntungan tersendat. Syukur-syukur duit ngga hilang," ujar Eko W. Ungkapan ky pesimis investor LJA di Jakarta itu terlontar setelah transfer keuntungan bulan ke-3 tak kunjung tiba. Hatinya makin resah setelah membaca surat pemberitahuan tentang keterlambatan pengiriman keuntungan dari hasil Investasi bisnis. Dari modal yang ditanamnya, Eko baru menikmati sekitar Rp2,2-juta selama 2 bulan pertama. Ia mengambil paket Nyaman C yang nilainya Rp20-juta. Dari brosur yang ditawarkan LJA tercantum investasi 4 paket. Paket Nyaman B dan D bernilai Rp40-juta per paket. Jumlah tanaman jati 1.000 dan masa investasi masing-masing 5 serta 1 tahun. Keuntungan 4,5% per bulan bakal diperoleh investor sejak bulan pertama sampai 1 tahun untuk paket D. Sedangkan paket B, investor menerima modal dan keuntungan 4% per bulan sampai 5 tahun. Paket Nyaman C dan E bernilai masing-masing Rp20-juta. Dengan 500 pohon setiap paket, masa investasi ditawarkan 5 dan 1 tahun. Pada paket C investor menerima modal plus keuntungan 4% per bulan mulai bulan pertama hingga 5 tahun. Keuntungan paket E, 4,5% diterima investor sejak bulan pertama sampai 1 tahun. Di akhir masa investasi, modal awal dikembalikan seluruhnya. Jika saja semua lancar, Eko semestinya menerima Rp11-juta/bulan sampai 5 tahun. Itu belum termasuk bonus Rp20-juta di akhir masa investasi. “Karena ribut-ribut PT Qumia Subur Alam Raya mereka diaudit oleh konsultan manajemen. Akibatnya pengiriman pun terlambat,” kata Eko

Sebulan langsung untung

Ketika dikonfirmasi Mitra Usaha Tani, LJA- dengan 1.400 investor-menyebutkan adanya musyawarah dengan seluruh investor di daerah. Dalam balasan via faksimili, Adam Rustam, dirut LJA hanya menyebutkan pertemuan itu diadakan guna mencari solusi pengamanan kelangsungan investasi. Mereka telah menyepakati penjadwalan ulang pembayaran keuntungan dan pokok agar usahanya tetap berlanjut. Menurut Cahyadi-nama samaran- mantan karyawan LJA, kesulitan keuangan terjadi karena September 2002 jatuh tempo sejumlah paket investasi lama, seperti cabai secara bersamaan. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk membayar modal dan keuntungan paket Nyaman jati pun tak sedikit. Target penanaman jati menurut LJA 3.000 ha sampai 2003. Namun, sampai kini luasan yang telah tertanam baru 300 ha. Lahan tersebar antara lain di Sumedang, Blitar, dan Lumajang. Dengan penanaman 2 m x 2,5 m, total populasi 1 ha 2.000 pohon. Bila paket 500 pohon dijual Rp 20-juta, sesuai yang ditawarkan LJA, maka dari 300 ha terkumpul Rp24-miliar. Dengan keuntungan 4%, sejak bulan pertama LJA wajib membayar Rp 960-juta/bulan kepada investor. Jadi, pada tahun pertama keuntungan yang harus dibayar LJA sekitar Rpl 1,5-miliar. Pembayaran keuntungan berlangsung terus hingga akhir masa investasi. Itu belum termasuk modal awal, Rp24-miliar di akhir masa investasi. Menurut Ir Lewi Pohar Cuaca, market development manager PT Monfori Nusantara, tanaman keras itu baru bisa dipanen umur 7 tahun. “Data lapangan itu didapat dari referensi jati super di Malaysia dan Thailand,” katanya. Dalam pariwara di Mitra Usaha Tani Mei 2002, PT Katama Suryabumi, produsen jati emas yang bekerjasama dengan SEAMEO -BIOTROP, Bogor mengungkapkan hal serupa. Jati berumur 7 tahun biasanya dimanfaatkan untuk keperluan lantai atau bahan kaki meja atau kursi. Dengan data itu LJA mestinya baru mendulang rupiah dari jati pada tahun ke-7 hasil penjarangan 30% dari total populasi. Padahal investor dijanjikan menerima keuntungan sejak bulan pertama tahun pertama sampai 5 tahun. “Hasilnya hanya 0,2-0,3 m3/pohon dan harga jual yang kualitas bagus Rp 1-juta/m3,” tutur Lewi. Bila penanaman diasumsikan serentak, maka dana baru masuk pada tahun ke-7 senilai Rp39,9-miliar sampai Rp59,9-miliar. Penjarangan kedua dilakukan pada tahun ke-10 sebanyak 30%. Baru pada tahun ke-15 jati berdiameter batang 35- 40 cm ditebang habis. Kondisi seperti itu dengan asumsi bibit yang digunakan berkualitas super dan perawatan sangat intensif, terutama untuk 2 tahun pertama. Memang di luar jati ada tanaman lain yang menghasilkan. Pihak LJA hanya menyebut tanaman jangka pendek, cengkeh, kopi, karet, dan trading untuk menutup investasi itu. Perusahaan yang berkantor pusat di bilangan Sudirman, Jakarta, itu tak menyebutkan jenis komoditas jangka pendek. Sedangkan cengkeh jika ditanam dari bibit, baru mulai panen 4,5 tahun; karet tahun ke-5; dan kopi 2 tahun. Kalaupun tanaman itu sudah ada di lahan, panen besar hanya 1-2 kali setahun.

Pemanfaatan Lahan nganggur

Di dalam paket yang ditawarkan LJA mencantumkan komoditas hortikultura dan trading melengkapi paket tanaman jati. Salah satu kebun hortikultura di Pancawati, Bogor didatangi Mitra Usaha Tani Jumat, minggu pertama September 2002. Sekitar 17 unit screenhouse seluas 1,5 ha kosong melompong tanpa tanaman satu pun. Yang tampak hanya sisa-sisa polibag dengan peralatan irigasi lengkap. Di sisi luar, tumpukan bekas tanaman paprika dan tomat ceri terlihat membusuk dan mengering. Padahal, “Untuk biaya bangun greenhouse-nyz saja minimal Rp25.000/ m2,” kata Ir. Rudi Purwanto, praktisi paprika yang mendampingi Mitra Usaha Tani melihat langsung di lapangan. Belum lagi perangkat irigasi tetes, instalasi rumah pompa dan nutrisi yang terlihat terbengkalai. Ketika dikonfirmasi, LJA bersikukuh itu karena masa sewa lahan tak diperpanjang. “Padahal masa sewa lahan masih 1 tahun lagi,” tutur Cahyadi. Itulah sebabnya Ahmad Zulfan Lubis, general manager of production LJA berencana menanam lagi musim hujan mendatang. Sejak panen terakhir Juni 2002, screenhouse yang baru diisi 1 kali penanaman itu memang dibiarkan menganggur 5 bulan. “Ini untuk menghindari serangan thrips dari tanaman cabai di samping,” ucap Zulfan. Menurut Cahyadi, “Sampai Juni 2002 PT LJA masih berhutang lahan hortikultura sekitar 180 ha.” Artinya, perusahaan itu masih mempunyai target penanaman yang harus direalisasikan 180 ha. Alternatif lain dengan memacu produksi tak dilakukan. Terbukti sejak pertengahan 2002 dana operasional dari kantor pusat tak jua terkucur. Namun, ini dibantah LJA yang menyebutkan paket hortikultura sudah ditutup setahun lalu, sehingga perusahaan tidak mempunyai hutang penanaman lagi.

Kendala Hasil Tak yang sesuai

Kondisi lain ditemukan di PT Adess Sumberhidup Dinamika. Menurut Ade Suhidin SH, pemilik ADD Farm, jumlah investor yang terdaftar aktif saat ini sekitar 3.000 orang. Rata-rata 5 paket diambil setiap investor. Setiap paket dengan jumlah itik 100 ekor bernilai Rp4-juta sampai Rp5-juta. Taruhlah 1 investor mengambil 1 paket, mestinya terdapat 300.000 ekor bebek di lahannya. Namun, Ade hanya menyebutkan jumlah kandang yang terisi dari blok A sampai N sebanyak 14 blok. Kapasitas setiap blok 10.000 ekor. Berarti jumlah itik 140.000 ekor. Ade menuturkan, sampai awal September sibuk mengisi kandang dengan itik umur 4 bulan. Setiap minggu ia mengeluarkan Rp200-juta untuk belanja itik. Harga seekor itik Rp13.500. Itu artinya sekitar 14.000 itik setiap minggu masuk farm yang ada di Kalipasung, Cirebon. Itik itu diperoleh dari sejumlah plasma yang tersebar di antaranya di Comal, Kapetakan, Pemalang, dan Pekalongan. Itu lantaran produksi mesin tetas mewah impor berkapasitas 70.000 telur per 4 minggu belum cukup memenuhi paket itik yang dibeli investor. Dengan asumsi itik siap telur mencapai 140.000 ekor, jumlah telur yang dihasilkan tak signifikan. “Yang masuk 2 bulan lalu sudah produktif. Mulai bertelur 3.000 butir/hari,” ucap Ade. Dengan harga jual Rp600/butir, berarti pemasukan dari telur Rp54-juta per bulan. Padahal kewajiban ADD Farm untuk mengembalikan modal plus keuntungan investor berjumlah 3.000 orang, Rpl,8-miliar/bulan. Di brosur, ADD Farm menjanjikan pengembalian modal dan keuntungan investor, Rp600-ribu/bulan per paket. Dana itu diperoleh dari tingkat produktivitas telur minimal 50% setiap hari, yakni 50 telur. Sementara, dengan 3.000 telur/hari dari 140.000 ekor berarti tingkat produktivitas baru sekitar 4,2%. Menurut Ade telur-telur itu dibeli oleh para pedagang dan dipasarkan ke Bandung, Jakarta, Semarang, dan Depok. “Saya juga kirim ke pabrik kerupuk di Cikampek,” tambahnya. Di samping telur, pemasukan ADD farm juga diperoleh dari itik apkir.

Paket investasi gurami

PT Mahkota Agro Purbamas (Mahamas), perusahaan investasi lain menawarkan sejumlah paket, di antaranya gurami. Pada pariwara Mitra Usaha Tani Juni 2002, perusahaan itu menawarkan investasi 6 bulan untuk memelihara bibit gurami berukuran bungkus rokok. Temuan di lapangan justru sebaliknya. Gurami yang dipelihara beragam ukuran. Mulai dari ukuran korek api (40-60 g-red), bungkus rokok (100 g/ekor-red) hingga 300 g/ekor. Yang dijual pun tidak seluruhnya ukuran konsumsi 500 g tetapi, “Dalam seminggu bisa mengangkat (panen-red) 2-3 kali ukuran tampelan dan bungkus rokok,” tutur Totok, penanggung jawab kolam di Parung. Bahkan volume penjualan bibit lebih dominan. “Per minggu 20.000 ekor dengan jumlah terbesar ukuran bungkus rokok, berharga Rp 2.500/ekor,” ucap Mamat, bagian pemasaran PT Mahamas. Dari 24 kolam Totok menyebutkan populasi sekitar 75.000 ekor bermacam ukuran. Menurut Bambang Soejitno, kolam di Parung seluas 3,5 ha. Dengan asumsi seluruh ikan berukuran bungkus rokok, aset Rp 187,5-juta. Berdasarkan pariwara Mitra Usaha Tani Juni 2002 target penebaran 10 ha. “Kalau dapat semua, nilainya Rpl,5-miliar,” tutur Bambang. Padahal penebaran yang terealisasi baru 3,5 ha, sehingga modal investor terkumpul Rp525-juta.

Analisa Pasar

Selain Mahamas, tercatat 40 perusahaan serupa. Namun, merebaknya kasus QSAR membuka mata para investor tentang bisnis menggiurkan itu. Ekky nama samaran misalnya, langsung menghubungi 6 perusahaan tempat berinvestasi untuk menanyakan kondisi keuangan. Pembayaran laba PT Murakabi Buana tertunda membuat ia panik. “Mereka (perusahaan investasi-red) beralasan ada penundaan penanaman. Saya kesal karena tak diberitahu sebelumnya. Saya baru tahu setelah menghubungi mereka,” ujar ibu yang menginvestasikan ratusan juta rupiah itu. Hal serupa dialami Wilda Yusuf, investor di Tangerang. Tabungan yang disetor ke sebuah perusahan investasi penggemukkan sapi terpaksa direlakan. Berbagai kasus yang menimpa puluhan ribu investor, mulai membuka mata Departemen Pertanian. Bersama sejumlah instansi terkait, pemerintah membentuk tim penyusun kebijakan untuk mengatur bisnis investasi. Menurut Ir. Bambang Kartiko, ketua Persatuan Investor Bagi Hasil Agribisnis (PIBHA), “Investor harus melihat pembukuan, cash flow, manajemen, kondisi keuangan, dan fisik di lapangan.” Perusahaan investasi sebaiknya melakukan manajemen terbuka. Dengan demikian bila terdapat gejala tak sehat, bisa diselesaikan sedini mungkin.