Jeruk Keprok: Sebuah Warisan di Dusun Kacang

  • 3 min read

Pantas saja keprok kacang jadi kebanggaan kabupaten yang berdiri pada 29 Juli 1958 itu. Kulit buah yang dipetik matang penuh berwarna kuning keoranyean. Persis keprok-keprok yang didatangkan dari Cina, Australia, atau Amerika Serikat. Meski tebal, tak sulit mengupasnya. Juring yang oranye terang terlihat bernas. Soal rasa, ia lebih istimewa ketimbang keprok-keprok lain. Manis dan segar. Dengar saja komentar kepala Balai Penelitian Buah (Balitbu) Solok Dr I Djatnika, “Sambil memejamkan mata pun langsung bisa dibedakan kalau yang dimakan itu keprok kacang.” Ukuran relatif besar, yang masuk kelas A sekilo berisi 5 sampai 6 buah. Wajar meski penanaman keprok di Sumatera Barat menyebar di sentra lain, misal Pasaman, limau kacang sebutan masyarakat di sana telanjur lebih dulu populer.

telah ada sejak Zaman Belanda

Kualitas istimewa itu diduga lantaran lokasi penanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman. Citrus nobilis itu tumbuh baik di lahan berketinggian di atas 600 m dpi. Curah hujan 1.270 sampai 2.000 mm/ tahun dengan suhu rata-rata 21 °C selama 2 sampai 3 bulan. Ia menyukai tanah gembur bertekstur pasir hingga lempung, dan tidak tergenang air. Kemasaman tanah berkisar 4,5 sampai 8. Tak ada data persis sejak kapan keprok ditanam di Kenagarian Kacang, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Ada yang menyebutkan sejak zaman kolonial Belanda jeruk itu berkembang di sana. Kepopulerannya terus bertahan hingga ratusan tahun. Data 5 tahun terakhir menunjukkan, jumlah penanaman dan produksi keprok kacang terus meningkat. Pada 1998 terdapat 315.898 tanaman dengan produksi 2.000 ton. Pada 2002 jumlah itu meningkat menjadi 331.478 pohon dan 15.795 ton. Sayangnya, nama baik keprok kacang belakangan sedikit “tercemar.” Ukuran buah dari pohon sama atau berbeda kini tak lagi seragam. “Variabilitas ukuran buah sangat beragam, tidak seperti 10 tahun lalu,” kata Dr Sudarmadi Pumomo, ahli peneliti utama Balitbu. Kualitas rasa pun merosot. Kulit buah tak lagi mulus kuning keoranyean, tapi mrentul-mrentul dan daging ngapas. Kemerosotan itu bahkan membuat gundah Bupati Solok, Gamawan Fauzi, SH.

Panen Yang terlalu cepat

Hasil penelusuran para peneliti Balitbu menunjukkan, penurunan itu akibat beberapa faktor. “Banyak pekebun sekarang memanen buah belum tepat umur,” ujar Sudarmadi. Mestinya buah dipetik 5 sampai 6 bulan selepas munculnya bunga. Alasan pemanenan prematur itu lantaran pekebun mesti beradu cepat dengan pencuri. Pekebun lain menyebutkan, harga jual buah relatif tinggi membuatnya merasa tak perlu menuai buah matang penuh. Toh, yang belum cukup tua pun sudah dihargai tinggi. Daging buah ngapas karena pemberian pupuk kurang berimbang. Faktor lain, penggunaan sembarang bibit. Pekebun banyak menggunakan bibit asal tanaman yang sudah turun-temurun ditanam di lapang. Menurut Sudarmadi, agar tidak terjadi degradasi, bibit dikembangkan dari pohon induk asal blok fondasi atau Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT) yang ditunjuk. “Nah, ini yang mesti buru-buru diperbaiki,” tutur Djatnika. Di tengah gempuran jeruk medan bahkan sebentar lagi dari Pontianak pun muncul kejadian seperti itu tak bisa dibiarkan. Tanpa penanganan profesional di kebun, bisa-bisa keprok kacang terlibas zaman.