Jeruk Siem Batola Ditepian Sungai Barito

  • 4 min read

Bak petualangan Indiana Jones memburu harta karun terpendam, perjalanan menuju sentra penanaman siem kali ini begitu mengasyikan. Selepas menumpang pesawat selama 1,5 jam dari Jakarta menuju Banjarmasin, perjalanan dilanjutkan melalui air. Speedboat itu dipacu dengan kecepatan sedang membelah derasnya Barito. Terkadang tubuh ikut bergoyang ke kiri ke kanan kala ombak menghantam. Guncangan sedikit mereda sekitar 1 jam kemudian begitu kapal dibelokkan memasuki sebuah kanal berair tenang. Penduduk setempat menyebut pecahan-pecahan sungai itu sebagai anjir. Perjalanan itu belum usai. Di sebuah dermaga sederhana di Desa Karangbuah, Kecamatan Belawang, Kabupaten Barito Kuala, perahu ditambatkan. Selanjutnya mobil yang ditumpangi menyusuri jalan sunyi sejauh 2 km. Toh, “perjuangan” itu tak sia-sia. Kalau tokoh fiksi, sang arkeolog yang doyan berpetualang, menemukan perhiasan emas dan perak, di sana ada harta karun berupa bentangan jeruk siem sejauh mata memandang.

Jeruk Siem batola

[caption id=“attachment_3000” align=“alignleft” width=“362”]Panen Buah Jeruk Batola Hasil panen habis di Banjarmasin[/caption] Kebun Citrus nobilis itu begitu tertata rapi. Jeruk ditanam dalam bedengan-bedengan selebar 4 m. Satu bedeng, satu barisan tanam terdiri atas 20 pohon yang dipisahkan jarak antarpohon 5 m. Tanaman berumur 4 sampai 5 tahun itu terlihat sehat. Tak ada tanda-tanda serangan Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) yang menjadi momok pekebun. Bibit-bibit diperbanyak dari tanaman induk yang dimurnikan di Instalasi Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian IP2TP Tlekung, Kotamadya Batu. Di setiap ujung cabang terlihat buah-buah muda. Buah-buah matang secara berangsur dipetik. Meski terdapat 2 sampai 3 kali panen utama, nyaris sepanjang tahun ada buah siap dituai. Beberapa tanaman disangga bambu lantaran penuh digelayuti buah. Dari pohon berumur 4 sampai 5 tahun dituai 30 kg buah. Penampilannya menarik. Kulit hijau tua mengkilap. Di balik kulit yang tipis dan mudah dikupas terlihat daging buah berwarna kuning terang. Rasanya manis segar. Kulit ari daging, halus hingga lumat saat dimakan. Kandungan air cukup banyak dan nyaris tanpa biji. Bobot buah cukup besar. Setiap kilogram kelas A terdiri atas 4 sampai 6 buah yang mulus. Tak heran bila siem itu menjadi kebanggaan. Masyarakat setempat menyebutnya batola, kependekan dari barito kuala. Sayang, waktu ikut serta dalam Lomba Buah Unggul Nasional 2003 yang diselenggarakan Trubus siem banjar itu kalah bersaing dengan keprok asal Lombok dan siem pamekasan.

Kawasan Agropolitan

Semula ia banyak ditanam di kebun-kebun penduduk di Kecamatan Belawang utara, antara lain di Desa Bambanan dan Sukaramai. Di sana tanaman jeruk sudah berumur puluhan tahun. Dari sentra lama, siem hatola menyebar ke daerah lain. Menurut data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini luas total penanaman jeruk mencapai 2.400 ha. Itu terpusat di Kecamatan Mandastana sentra terluas mencapai 2.060 ha, Alalak, Belawang, Rantaubadauh, Anjirmuara, dan Barabai.Areal yang dikunjungi merupakan lahan penanaman seluas 500 ha. Bedengan tanaman, saluran air, dan jalan dalam unit-unit kecil bergabung menjadi areal terpadu berskala luas. Rupanya pengembangan jeruk yang mendapat dana bantuan dari pemerintah itu menerapkan konsep agropolitan yang digaungkan Menteri Pertanian Kabinet Gotongroyong Muhammad Prakosa. Pola seperti itu mempermudah kegiatan pengadaan sarana produksi, pemeliharaan, panen, dan pascapanen. Sentra terpadu itu meliputi desa-desa di Kecamatan Mandastana, seperti Desa Karangbunga dan Karangindah, serta Kecamatan Belawang, misal Desa Karangbuah. Yang menarik, antarbedengan dipisahkan hamparan padi selebar 10 m. Selain jeruk, kawasan itu memang dirintis menjadi sentra beras. Semestinya hijaunya daun padi menyambut kedatangan di penghujung Januari itu. Sayang, hujan deras terus-menerus merendam sebagian areal penamaman Oryza sativa. Batas air bahkan hampir menyentuh puncak-puncak bedengan. Mestinya jarak antara permukaan air dan puncak guludan mencapai 80 cm. Ini berakibat fatal. Kondisi terendam menyebabkan rasa buah kurang manis. Bila ini berlangsung lama minimal 2 bulan daun menguning dan lama kelamaan tanaman mati. Menyelamatkan tanaman dari gempuran banjir, salah satu misi kunjungan ke sentra yang diresmikan Menteri Pertanian Bungaran Saragih itu. Untuk itu sistem pembuangan air mesti ditata lebih baik.

Harga Jual Yang Mahal

Sampai kini, terhitung jari konsumen di luar Borneo yang sempat mencicipi jeruk batola. Hasil produksi habis terserap pasar di Banjarmasin atau dikirim ke Kalimantan Tengah. Dari sentra-sentra penanaman, jeruk dibawa melayari kanal-kanal menuju ibukota provinsi atau provinsi tetangga. Pengangkutan melalui darat lebih sulit dan mahal sehingga kurang populer. Tiba di Banjarmasin nilai jualnya cukup tinggi. Dengan harga di kebun Rp2.500 per kg, sampai di tangan konsumen nilainya nyaris 2 kali lipat. Wajar bila ia tak pernah sampai pulau Jawa. Ditambah dengan ongkos kirim, harga siem banjar itu kalah bersaing dengan jeruk asal Pontianak yang dijual Rp3.000 per kg di kakilima Jakarta. Maklum dari sentra di Singkawang dan Sambas buah langsung disetor ke pelabuhan lokal yang berakses langsung ke pulau Jawa. Jadi, buat Anda yang penasaran pada siem batola untuk sementara harus puas dulu hanya menikmati cerita perburuan ala Indiana Jones ini.