Kisah Juragan Sale Pisang, Raup Rupiah Dari Pisang
- 5 min read
Sebutlah nama Ani panggilan akrab Kasrih Andayani bila Anda datang ke Desa Burno, Kecamatan Senduro, Lumajang. Anda pasti langsung diantarkan ke pabrik pembuatan sale milik perempuan 40 tahun itu. Buat penduduk setempat terutama kaum ibu Ani bak pahlawan. Ibu 3 anak itulah yang mempelopori pengolahan sale pisang di sana. Dari gubug berdinding gedek, kini produksi sale pisang Ani dipusatkan di sebuah pabrik mentereng. Industri rumah tangga penghasil olahan pisang itu pun bermunculan di sepanjang desa. Itu dikelola 30 ibu yang menyetor ke pabrik milik peraih penghargaan dari ASEAN (Asociation of South East Asian Nation) itu. Duapuluh lima tahun silam kondisinya bertolak belakang. Sebuah rumah berukuran 13 m x 6 m yang dikelilingi jejeran pohon yang tampak memprihatinkan. Dindingnya hanyalah anyaman bersangga kayu. Lantainya beralaskan tanah. Tak ada jendela kaca di sana, yang ada potongan bambu difungsikan sebagai pintu angin. Tumpukan kain menggunduk di ruangan tamu yang bersatu dengan dapur. Dari gubug itulah setiap pukul 04.00 saat semua orang terlelap tidur, Ani berangkat ke Lumajang untuk menjajakan kain. Seharian penuh ia menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah. Panas terik tak dihiraukan. Namun, untung yang diperoleh tak seberapa. Ani pun lantas banting setir menjual bawang kulakan. Gagal di bawang perempuan berkacamata itu kemudian mengadu peruntungan dengan berjualan bakso. Lagi-lagi labanya tak seberapa.
Titik balik
Titik balik terjadi saat Ani diberi sale pisang dari temannya di Kecamatan Senduro. Itulah makanan kesukaannya sejak kecil. Temannya berkata sale itu barang mahal. Insting bisnis wanita gesit itu langsung timbul. Setandan pisang embug yang diambil dari kebun warisan orangtua jadi bahan uji coba pertama. Satu per satu pisang dikuliti, lalu dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan getah. Siangnya pisang dijemur diterik matahari. Saat malam datang, pisang diolesi mentega dan gula cair, barulah siap dipanggang. Dibutuhkan 3 hari pemanggangan hingga daging buah berubah jadi cokelat kehitaman. Itu pertanda sale sudah matang. Uap panas yang mengepul dari sale, menggoda Ani untuk menyomot sale panas. Tanpa sadar semua habis dilahapnya sendiri. ’’Hasilnya enak,” ujar Ani. Hasil memuaskan menebalkan tekadnya untuk memproduksi sale. Itulah yang dilakukan perempuan berambut pendek itu sejak awal 1996. Sale dikemas dalam plastik ukuran 1 ons dan dititipkan di salah satu warung es di dekat rumah.
Rintangan
Sayang, keberuntungan belum berpihak. ’’Rasanya sih enak, tapi harganya mahal,” kata wanita berkulit putih itu menirukan pemilik warung es. Sale kembali dibawa pulang. Belajar dari pengalaman menjual kain, Ani memilih untuk memasarkan sale di luar kampung. Ia menawarkan produknya ke warung-warung di kota kecamatan. Keputusannya tidak salah. Salenya disukai warga Kecamatan Senduro. Permintaan pun terus berdatangan. Setiap hari 50 kg sale ludes di pasarkan. Namun, lagi-lagi kerikil menghadang. Krisis moneter pada 1997 menyebabkan daya beli masyarakat turun. Banyak sale yang kembali ke tangan Ani karena tidak laku. Lagi-lagi otak perempuan berperawakan sedang itu bekerja. Untuk menutupi kerugian, ragam olahan ditambah dengan membuat keripik dari pisang agung, raja, dan embug. Keripik dipilih karena harga jual yang murah dan bahan baku banyak tersedia. Melihat di sekitarnya banyak talas, sekalian saja dibuat keripiknya. Di tahun yang sama, bahan baku pembuatan sale bukan lagi pisang embug, melainkan pisang ambon. ’’Rasa sale jadi lebih empuk,” tuturnya. Kendala lain, ketergantungan pada pemasok bahan baku. Suatu kali 300 tandan pisang agung untuk bahan keripik telat datang. Akibatnya produksi tertahan, pengiriman keripik pisang ke tangan konsumen pun terhenti sementara. Makanya, sebagai pengganti Ani kerap mengambil pisang dari Kabupaten tetangga-Trenggalek.
Produksi makin meningkat
Kerja keras Ani perlahan mulai membuahkan hasil. Sejak 1998, 50 kg per hari sale dihasilkan sedangkan keripik pisang 400-500 kg per hari. Semua terserap pasar. Menjelang bulan puasa, permintaan melonjak bahkan terkadang konsumen harus pesan dulu. Kalau hari-hari biasa permintaan hanya 5 kuintal, saat puasa bisa mencapai 1,5 ton. Untuk memenuhi permintaan itu, Ani mengolah 600 tandan 2 kali seminggu. Itu sesuai jadwal kedatangan pasokan pisang dari pekebun setiap Rabu dan Sabtu. Setandan pisang ambon diolah menjadi 3 kg sale,pisang embug menjadi 10-15 kg keripik, dari pisang mas, 7 kg. Keripik dan sale dikemas dalam berbagai ukuran. Untuk sale dibuat 3 ukuran: lkg, Rp25-ribu; 0,5 kg, Rp 10- ribu; dan 0,25 kg Rp8-ribu. Sedangkan kemasan keripik dibuat dalam ukuran 200 g 150 g, 300 g, dan 450 g. Sekilo keripik pisang agung dijual Rpl4-ribu/kg, keripik talas Rp7.500/kg. Label Burno Sari Sariwangi disematkan. Kalimat itu berarti merintis dari tunas muda, tunas harapan, dan sekarang sarinya sudah wangi. Itulah perjalanan Ani merintis usahanya. Dari perniagaan itu total omzet per bulan mencapai RplOO-juta setara Rpl2-miliar per tahun. Menjelang bulan puasa omzet meningkat 50%. Dari total omzet penjualan sale menyumbang 50%. Pantas bila kini bangunan rumah yang semula semi permanen berubah jadi bangunan bertingkat. Lantai tanah diganti dengan keramik putih. Untuk mengirim produk lahan ke tangan konsumen tak lagi menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki. Ani sudah sanggup membeli mobil angkutan.
Membuka Lapangan kerja baru
Berkah dari usaha sale dan keripik pisang tidak hanya dirasakan Ani seorang. Usaha itu membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Kalau semula Ani hanya bekerja seorang diri, sekarang dibantu oleh 40 pegawai tetap. Dua belas orang mengupas pisang. Buah itu langsung diiris oleh 6 orang, lalu dicuci oleh 4 orang. Pemberian warna dilakukan 2 orang. Enam orang bertanggungjawab menggoreng dalam wajan besar di atas tungku. Hasil gorengan disortir 4 orang. Selanjutnya keripik dikemas dalam plastik oleh 4 pegawai lainnya. Khusus sale, pekerjaan mengoles mentega dengan gula cair di atas permukaan buah dilakukan oleh 2 orang. Memasuki bulan puasa dan Idul Fitri saat terjadi kenaikan permintaan dibutuhkan tambahan tenaga kerja sebanyak 20 orang. Di luar produksi sendiri, Ani menampung keripik dan sale yang dihasilkan 30 ibu rumah tangga yang ia bina. Pantas buat sebagian orang Ani bak seorang pejuang. Berjuang untuk menjadikan Senduro tak hanya sebagai sentra pisang, tapi juga pusat keripik dan sale kenamaan.