Kota Mati gara Gara Rumah Walet

  • 5 min read

“Lingkungan akan tercemar, kenyamanan terganggu, kota pun menjadi sunyi-senyap bagai mati tak ada kehidupan.” Inilah yang dikhawatirkan sekitar 15 orang- perwakilan warga Metro yang mendatangi Kantor Kecamatan Metro Raya. Mereka menuntut agar pembangunan rumah walet di Metro, Lampung Tengah, distop. Kejadian ini mengagetkan para pengusaha karena baru pertama kali muncul. Memang, sampai sekarang para pengusaha walet dari berbagai penjuru kota di tanah air terus berdatangan. Dalam waktu relatif singkat banyak lahan sawah dan kebun di Metro beralih fungsi. Gedung-gedung berlantai 2-5 mulai mengikis hamparan padi menguning, atau hijaunya jagung. Bahkan satu-dua gedung walet hadir di pusat-pusat keramaian seperti pasar dan tempat hiburan. Akibatnya, aktivitas di beberapa ruas jalan yang dipadati gedung walet cenderung menurun. Bagaimana tidak, banyak rumah dan toko yang ditutup dan ditinggalkan pemiliknya gara-gara digunakan untuk hunian walet.

Ada benarnya

Penolakan warga RT 20 LK II, 15 B Timur terhadap pembangunan rumah walet sebagaimana ditulis harian Jaya Ekspres, Edisi 014 Tahun 2018, karena beberapa alasan. Antara lain, rumah walet mencemari lingkungan, mengganggu kenyamanan, dan ketentraman warga. Lingkungan menjadi sunyi, dan mengurangi cahaya yang dibutuhkan warga, serta terjadi penurunan sanitasi. Alasan itu walau dianggap terlalu berlebihan oleh para pengusaha walet, tetapi kesan menjadi kota mati ada benarnya. Suasana sunyi tidak hanya terjadi di Metro melainkan di semua sentra walet. Lihat daerah Sedayu di Gresik atau Haurgeulis di Indramayu yang tercacat sentra paling padat gedung waletnya. Kala siang, dan terlebih malam suasananya sangat sepi. Sebab, gedung yang besar menurut ukuran sebuah rumah, paling hanya dihuni 1-2 orang penjaga. Itupun mereka mengambil jarak dengan para tetangga. Pintu pagar selalu terkunci, penghuni hanya sesekali keluar mencari perbekalan. Pemilik yang umumnya tinggal di kota lain hanya datang pada saat panen. Dilihat dari segi keindahan kota juga kurang mendukung. Gedung walet bentuknya monoton, tidak mempunyai nilai artistik tinggi sebagaimana rumah. Warnanya sederhana paling banter putih atau malah warna semen tok. Pagar tinggi yang melingkupi kadang mempersempit pandangan mata. Kenyamanan untuk tinggal di sentra rumah walet tersebut pasti berkurang. Apalagi jika pemilik gedung tak memperhatikan kebersihan halaman. Misal rumput dibiarkan tumbuh tinggi yang memungkinkan bersarangnya berbagai vektor pembawa penyakit.

Tak setuju

“Kalau dibilang membuat kota mati dalam arti tak ada kegiatan perekonomian, jelas saya tidak setuju. Justru adanya rumah walet menyediakan lapangan kerja baru,” ungkap Fatich Marzuki ketua Pusat Rehabilitasi Sarang Walet. Fatich melukiskan, untuk pencucian lkg sarang saja paling tidak harus melibatkan 5 orang. Penjaga-penjaga juga berasal dari daerah setempat. Kesempatan melakukan bisnis lebih terbuka, sebagai pengumpul sarang, penyedia sarana perlengkapan gedung, atau tenaga ahli pembuat gedung. Pendapatan daerah di sentra walet biasanya tinggi, karena nilai sarang jauh lebih tinggi dibanding komoditas lain. “Selama ini memang kebanyakan orang dari luar daerah yang lebih banyak menikmati hasil penjualan sarang. Namun, kenapa penduduk setempat tidak ikut?” Mulyadi pengusaha walet di Tangerang balik bertanya. Menurutnya jika modal membangun rumah walet dianggap terlalu besar bisa diakali. Bentuklah koperasi lalu bangun gedung walet. Cara ini akan lebih bagus karena dari segi keamanan pasti teijamin. Atau, bangunannya tidak perlu besar, cukup 2m x 2m yang bisa tenangkau oleh warga kebanyakan. “Model gedung-gedung : -kala kecil ini diterapkan di desa Dangdeur, Balaraja,tangerang." Mulyadi mencontohkan. Walet merupakan komoditas potensial penghasil devisa. Pangsa pasarnya cukup besar, sementara tempat yang cocok untuk budidaya walet terbatas. Itulah sebabnya Malaysia mencoba mengembangkan walau banyak kendala. Nah, Indonesia yang jelas-jelas mempunyai keunggulan komparatif harus betul-betul mengoptimalkannya. Perdagangan walet dunia kita yang menguasai. Satu-dua aspek sisi lemah dari adanya pengembangan rumah walet pasti ada. Hal itu berlaku pada setiap jenis usaha. Bangunan misalnya, tak mungkin dicat berwarna-warni yang bisa memperindah panorama desa/kota. Pasalnya, walet hanya menghendaki warna-warna alami. “Soal sanitasi yang menurun, saya kira tidak relevan. Rumah walet ideal pasti terawat baik. Sebab halaman yang dipenuhi sampah, tumpukan kayu atau pertumbuhan tanaman yang semrawut akan memunculkan hama pengganggu,” papar Mulyadi. Sisi positif pun tampak bila dikaitkan dengan kegiatan pertanian andalan Metro. Ia bisa menjadi mitra petani dalam mengatasi hama-hama pengganggu. “Wereng-wereng yang mengancam pertanaman padi bisa terkendali karena disantap walet,” tambah Fatich. Bahkan petani bisa memperoleh tambahan pendapatan bila mau mengumpulkan dan menjualnya ke pemilik gedung.

Sejalan

Di beberapa sentra, jalan tengah untuk memecahkan dua kepentingan antara warga dan pengusaha walet sebetulnya sudah diantisipasi pemerintahan setempat. Di Kisaran, Medan, gedung walet diatur agar lantai dasar dihuni pemilik atau tetap berfungsi seperti semula. Jadi kekhawatiran kota menjadi sepi bisa teratasi. “Tak sekadar itu, pemerintah daerah pun mengharuskan bangunan dikeramik, terutama lantai dasar. Sehingga dari segi estetika bisa lebih baik,” tutur Hariyanto R. warga di Kisaran. Pengusaha walet di Serpong, Tangerang, mencoba menempatkan gedung-gedung walet pada satu areal layaknya realestate. Lokasi dipilih yang paling cocok, lalu segala prasarana dilengkapi. Di sana sudah ada pagar pembatas, kolam, serta penjaga yang mengamankan seluruh lokasi. Orang yang berniat berusaha walet tinggal memesan kavling. Sedangkan untuk membangunnya bisa sendiri-sendiri atau kolektif. Dengan begitu, gedung-gedung walet tidak tumbuh liar. Kepentingan tata kota terpenuhi, dan calon pengusaha pun bisa lebih pasti keberhasilannya. Pembangunan gedung walet di Metro akan terhenti dengan sendirinya bila dipandang sudah tak mempunyai daya tarik. Buktinya sekarang tingkat perkembangan populasi gedung mulai menurun. “Dulu siapa yang tidak tertarik. Rumah belum selesai dibangun walet sudah antre “memesan”. Dan hasil panennya dari nol langsung mencapai 20kg rata-rata dari setiap rumah,” papar DR Boedi Mranata, pengusaha sekaligus pengamat walet