Kutahu yang Anda Mau: Sayuran Organik

  • 4 min read

Dua kali sepekan Annas Farm mengirimkan beragam sayuran organik ke Singapura. Bukan ke Pasirpanjang, pasar sayur-mayur terbesar di negeri singa itu. Sayuran bebas pestisida itu untuk memenuhi permintaan Anna Janti Darwaman, istri komisaris PT Matahari Putra Prima pengelola pasar swalayan Matahari. Sepuluh tahun terakhir Anna hanya mau mengkonsumsi sayuran organik. Anna tak sembarangan menerima sayuran menyehatkan itu dari produsen lain. Wajar jika istri Hari Darwaman itu menanam sendiri melalui perusahaan miliknya, Annas Farm. “Kalau beli dari luar, apa betul-betul organik?” tutur Asep Suhendar, pengelola Annas Farm. Kehati-hatiannya juga ditunjukkan ketika sayuran itu tiba di rumahnya di Singapura. Ia akan mengecek residu pestisida dengan alat khusus. Beragam sayuran itu dituai dari lahan 2,5 ha di Ciherang, Kabupaten Cianjur. Sekali pengiriman Asep mengemas antara lain 1 kuintal caisim, 1 kuintal wortel, dan masing-masing sekitar 25 sampai 50 kg bit, mentimun, dan tomat. Anna yang vegetarian dan menghindari nasi tentu ingin sehat, sehingga memilih sayuran organik. [caption id=“attachment_20495” align=“aligncenter” width=“1565”] Citra sayuran oraganik berlubang, tidak berlaku lagi[/caption]

Permintaan pasar yang tinggi

Masyarakat tampaknya kian menyadari manfaat sayuran organik. Di Renon, jantung kota Denpasar, sebuah kedai yang menyajikan menu organik hampir tak pemah sepi. Tiga puluh kursi yang tersedia di sana senantiasa terisi. “Paling ramai kalau jam makan siang. Banyak pengunjung yang makan di sana sambil diskusi,” tutur DR Ir Gede Ngurah Wididana, pemilik Warung Sehat Pak Oles itu. Beberapa hotel berbintang di Denpasar seperti Santika Bali juga meminta sayuran organik. Perubahan itu atas permintaan konsumen yang umumnya ekspatriat. “Di negara asal mereka sudah terbiasa mengkonsumsi sayuran bebas bahan kimia,” tutur Aryadi, pemasok sayuran organik ke berbagai hotel. Sayuran organik telah menjadi ikon bagi yang ingin hidup sehat. “Prinsip kami makanan adalah obat terbaik. Untuk mendapatkan dengan pertanian organik,” ujar dr Rini Damayanti MS. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu sejak 1997 mengembangkan sayuran organik melalui Yayasan Tidusaniy. Kini 400 bedeng di lahan 1,8 ha digunakan sebagai budidaya 50 jenis sayuran. Sebuah bedeng ditanami 2 sampai 3 jenis sayuran secara tumpang sari. Produksi sayuran organik untuk memenuhi permintaan 25 konsumen di sekitar Bandung. Setiap konsumen memesan rata-rata sebuah paket berbobot 5 kg yang terdiri atas 10 jenis sayuran per pekan. Harga per paket Rp30.000 sampai Rp40.000. Permintaan konsumen sebetulnya tinggi. “Mungkin sampai 50 orang. Belum lagi permintaan dari supermarket,” tutur liman Mutaqin dari Yayasan Tidusaniy. Yayasan itu berencana membangun toko dan kafe sayuran organik di Cimahi, Bandung.

Peningkatan Laba pekebun

Meningkatnya kesadaran akan faedah sayuran organik, dampaknya dirasakan para pekebun. Ir I Gusti Made Arjana MS, misalnya, tak pusing memasarkan puluhan jenis sayuran organik. Maklum, setiap hari usai menuai sayuran, pengepul datang ke kebunnya di tepi Danau Buyan. Volume yang diambil beragam. Setiap hari masing-masing 10 kg selada keriting, radisio, dan romance lettuce. Sedangkan ketumbar dan belasan sayuran rempah lain masing-masing 3 sampai 5 kg per hari. Oleh pengepul sayuran itu dikirim ke berbagai hotel dan restoran. Permintaan yang masuk sebetulnya 2 sampai 3 kali lebih banyak. Namun, Arjana belum sanggup memenuhinya. Menjadi pekebun organik hanya sambilan, di sela-sela aktivitas mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Marwadewa. Hal senada dialami Aryadi, pekebun di Bedugul, Bali. Setiap 2 sampai 3 hari ia memasok antara lain 260 kg kol, 26 kg selada, 40 kg wortel, dan 65 kg bit. Harga masing-masing per kg adalah Rp 1.000, Rp5.000, Rp3.500, dan Rp2.500. Padahal biaya produksi relatif rendah. Menurut Aryadi yang 6 tahun mengembangkan sayuran organik, biaya produksi per kg wortel hanya Rp 150, sedangkan kol Rp350.

Melatih petani Menjadi Mandiri

Harga yang mereka terima jauh lebih tinggi ketimbang komoditas serupa yang dibudidayakan secara konvensional. Rata-rata harga sayuran organik produksi Tidusaniy 60% lebih mahal daripada sayuran nonorganik. Wajar, sayuran organik memang lebih berkualitas, di samping sedikitnya pasokan. Menurut Rini pekebun sayuran organik lebih mandiri lantaran seluruh kebutuhan dapat dicukupi. “Pupuk kandang bisa diambil dari kotoran kambing atau ayam yang dipelihara sendiri. Sayuran apkir dapat dijadikan pakan kambing,” tutur master natural healing lulusan sebuah universitas di Kalifomia itu. Walau banyak kelebihan, perkembangan sayuran organik terbilang lambat. “Masalahnya petani terbiasa dengan cara budidaya konvensional. Wajar jika sulit mengubah paradigma dari budidaya untuk mendapatkan produktivitas ke budidaya untuk mendapatkan produk sehat,” ujar Wieke Lorenz yang 10 tahun terakhir mengembangkan beragam sayuran organik. Meski demikian para pelaku yang dihubungi Mitra Usaha Tani optimis prospek sayuran organik sangat bagus. Sebab, “Orang makin sadar arti kesehatan. Selain itu petani juga ingin sehat,” ujar Arjana.