Menanti Buah Indonesia di Pasar Dunia

  • 5 min read

Baru-baru ini diadakan sidang Codex Alimentarius Commission (CAC) ke-26 di Roma, Italia, 30 Juni-7 Juli 2003. CAC merupakan badan bentukan FAO dan WHO pada era 1960-an. Kata codex alimentarius sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti food code. Atau, bisa juga diartikan kumpulan standar berbagai jenis makanan yang diakui internasional. Tujuannya, di samping melindungi kesehatan konsumen, juga untuk memastikan kejujuran produsen makanan. Standar yang ditetapkan meliputi pangan segar, semiolah atau olahan. Termasuk juga hal-hal menyangkut higiene makanan, food additive, residu pestisida, kontaminan, label, dan penyajian. Penetapan standar internasional dilakukan melalui 8 tahap. Bila suatu rancangan telah mencapai tahap 8, artinya ia telah diterima sebagai standar internasional. Sidang itu dipimpin Thomas J. Billy asal Amerika Serikat sebagai Ketua Komisi Codex. Dihadiri 400 delegasi- wakil negara-negara anggota dan organisasi nonpemerintah (NGO). Indonesia mengirimkan wakil dari Departemen pertanian, Badan Standarisasi Nasional, Badan POM, ahli pangan, GAPMMI, GAPKINDO, serta perwakilan Indonesia di Roma.

Perbedaan standarisasi

Sebelumnya telah diadakan pertemuan antara negara-negara ASEAN di Bangkok, 2-3 Juni 2003. Indonesia mengusulkan memasukkan jeruk pamelo berbobot lebih dari 1,9 kg serta diameter lebih dari 170 mm atau grapefruit berdiameter lebih dari 139 mm dalam standar Codex. Mengapa? Karena jeruk Indonesia ada yang berbobot sampai 3 kg. Meski Asia menyetujui, tetapi Eropa dan negara-negara maju lain belum merestui. Perbedaan penetapan standar disebabkan kultur berbeda. Penduduk Eropa kebanyakan keluarga kecil, jumlah anak sedikit. Bagi mereka, membeli buah cukup berukuran kecil. Tak heran, pepaya Indonesia pun tak begitu laku di pasar ekspor lantaran ukurannya yang “wah”. Konsumen Eropa dan negara maju lain menginginkan buah yang sekali makan langsung habis. Sementara konsumsi domestik, makin besar ukuran pepaya justru makin diminati. Mengapa? Lagi-lagi karena kultur. Umumnya keluarga di Indonesia memiliki banyak anak. Tak hanya itu. Cara mengkonsumsinya pun tak langsung habis. Sisanya disimpan dalam kulkas untuk dikonsumsi esok hari. Walhasil, pepaya Indonesia tak cocok masuk standar internasional. Hal ini perlu diantisipasi oleh negara kita. Petani, peneliti, pemerintah, perlu bekerja sama untuk menghasilkan buah yang diakui standar internasional. Biasanya, peneliti justru berusaha membuat buah sebesar mungkin. Kecenderungan ini perlu diubah dan disesuaikan dengan pasar. Kita harus sadar, budaya di setiap negara berbeda. Negara Uni Eropa dan negara-negara maju hanya menerima standar jeruk dengan bobot maksimal 1,9 kg. Makanya, Deptan mencoba memperjuangkan agar buah berbobot lebih dari 1,9 kg juga bisa masuk standar. Esensinya, kalau kita diam, maka produk kita pun tak akan bisa diekspor karena tak memenuhi standar. Pada sidang terdahulu pernah diusulkan agar penggunaan pestisida dikurangi. Mengapa? Karena banyak buah subtropis dikonsumsi langsung-begitu petik langsung dikonsumsi tanpa cuci. Sebut saja apel, pir, anggur, dan plum. Karena itu, pretreatment sangat diperlukan, misalnya beberapa bulan sebelum panen tak boleh kena pestisida. Hal sama juga berlaku untuk sayuran. Lantas, Indonesia diperlakukan sama dengan standar Eropa. Padahal, Indonesia beriklim tropis. Bakteri, cendawan, serangga, mudah berkembang biak. Lha, kalau tak diberi pestisida, buah kita bisa-bisa isinya ulat melulu. Andai standar buah harus bebas pestisida, celakalah kita. Buah Indonesia tak akan bisa diekspor. Indonesia pun mengusulkan agar dibedakan antara buah tropis dan nontropis. Buah subtropis memang harus aman karena banyak yang langsung dikonsumsi. Namun, buah tropis banyak berkulit tebal. Mangga, manggis, pisang, durian, pepaya, duku, dan banyak lagi- harus dikupas sebelum dimakan. Jadi, tak perlu khawatir mengkonsumsi buah topis yang diberi pestisida. Untuk mendukung usulan itu harus disertai bukti ilmiah. Misalnya, manggis dengan pestisida, harus diteliti seberapa jauh penetrasi racunnya ke dalam kulit buah. Artinya, peneliti harus bekerja lebih keras.

Peranan Bahan kimia

buah lokal

Pasar buah lokal

Tambahan lagi, sekarang Uni Eropa menetapkan aturan lebih ketat melalui The European Union White paper on Food Safety, dikeluarkan European Food Authority yang berkedudukan di Brussels. Salah satu prinsip yang tercantum adalah perlunya traceability-alias trace back. Artinya, segala bahan kimia yang digunakan seperti pupuk atau pestisida harus bisa ditelusuri balik. Sistem ini terpadu, mampu mengidentifikasi dan melacak bila terjadi masalah yang berkaitan dengan kerawanan pangan, misalnya kontaminasi. Walhasil, seluruh rangkaian produksi pangan pun perlu diketahui. Mulai dari perawatan, panen, penanganan pascapanen, pengolahan, transportasi, dan distribusi. Jelaslah, masalah keamanan, kehalalan, dan kesehatan pangan sangat penting. Kita, sebagai petani, pabrik pengolah, dan konsumen harus memperhatikan perubahan standar-standar itu. Kalau tidak, bisa-bisa suatu saat kita sama sekali tak bisa mengekspor produk. Untuk produk pertanian, pengetahuan mengenai perawatan dan penggunaan bahan kimia sangat penting. Akhir-akhir ini negara maju giat mengembangkan dan mempromosikan produk transgenik yang merupakan hasil bioteknologi. Produk itu tak lagi butuh pestisida dan pupuk. Bahkan, ditanam pada tanah tanpa olah pun bisa. Lantas, konsumen Eropa pun dibujuk untuk mengkonsumsi produk organik. Tanpa pupuk dan pestisida. Australia juga mengembangkan prescription farming- bertani dengan resep. Sebelum bertani, lahan dicek, lalu ditentukan dosis pupuknya. Tujuannya, agar tak boros pupuk.

Sosialisasi pertanian organik di Indonesia

Namun, alangkah sulitnya menerapkan pertanian organik di Indonesia. Dengan iklim tropis, semua mudah berkembang biak. Tanpa pestisida, bakteri, cendawan, dan hama akan tumbuh subur. Jika pupuk tak lagi dipakai, lalu pabrik-pabrik pupuk di Indonesia akan jadi museum. Produk pertanian pun tak akan tumbuh dan berkembang. Karena itulah, Indonesia, sebagai bangsa yang besar, harus berpikir. Produk organik, transgenik, dan prescription farming- semuanya bagus. Namun, Indonesia harus memiliki kebijakan sendiri. Jangan mudah terpengaruh. Para ahli dan peneliti jangan hanya melihat berita internet, lantas ikut-ikutan. Hal sama berlaku pada pejabat kita. Jangan malah terkena hamburger effect. Kalau muncul peraturan ketat di luar negeri, di Indonesia justru dibuat lebih ketat. Akibatnya, pengusaha domestik makin terjepit-sepeti hamburger. Karena itu, peraturan harus disesuaikan dengan kondisi negeri sendiri.