Menyikapi Demam Anthurium Di Tanah Air
- 6 min read
Sungguh luar biasa anthurium. Sepanjang “karier” saya sebagai pencinta [tanaman hias](http://localhost/mitra/Tanaman Hias “tanaman hias”), baru sekali ini ada tanaman hias daun berharga aduhai. Saat tulisan ini dibuat, harga selembar daun Anthurium jenmanii “kobra” selebar piring makan dihitung Rpl5-juta. Maka, pecah sudah rekor yang dipegang aglaonema harlequeen hasil karya Gregori Garnadi Hambali, pemulia di Bogor, yang sebelumnya pernah dinilai Rp 11-juta per daun. Gejala aneh itu sebetulnya sudah mulai terendus sejak Mei 2007. Ketika itu tanpa diduga pamor anthurium tiba-tiba mencorong lagi. Padahal, pamornya meredup akhir tahun lalu, saat kita sibuk menghadapi Idul Fitri, kesibukan anak sekolah, dan tutup tahun. Yang menarik, demam puber kedua ini tampaknya jauh lebih dahsyat daripada tren pada 2006. Sejak Mei hingga awal Juli 2007, perburuan anthurium hampir terjadi setiap hari secara intensif. Ditaksir ratusan Anthurium jenmanii—terutama kelas indukan—eksodus dari Jabodetabek ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kurun yang sama pula, harga anthurium indukan meroket tak terkendali. Naik dari hanya Rp5-juta di awal Mei, menjadi Rp25-juta per tanaman ukuran yang sama sampai catatan ini ditulis pada pertengahan Juli. Di wilayah Jabodetabek, Medan, dan sebagian kota di Jawa Barat—yang selama ini dikenal sebagai sentra-sentra anthurium— sulit ditemukan lagi tanaman induk. Penyebabnya, volume permintaan dan pasokan yang tak seimbang. Kalau pun ada barang, harganya sudah di luar kelaziman. Tak kurang dari dr Purbo Djojokusumo, yang notabene dikenal sebagai pemain aglaonema dan kolektor anthurium sejak lama, menasehati agar kita menahan diri di tengah situasi anomali ini. Dia menyebut fenomena tanaman daun yang warnanya kebanyakan hijau melulu itu saat ini sebagai fenomena irasional alias tidak waras.
Bolak-balik
Pada saat yang sama, jalur perdagangan tradisional anggota famili Araceae ini juga ikut-ikutan bergeser. Anggapan lama bahwa anthurium kelas indukan biasanya “diangkut” dari barat ke timur, ternyata tidak berlaku lagi. Karena nyatanya banyak juga anthurium besar yang mulai diboyong dari timur ke barat. Jalur bisnis tradisional anthurium anakan atau bibit pun ikut bergeser. Para pemburu anthurium di daerah-daerah di Jawa—terutama Karanganyar, Solo, dan sekitarnya—yang dikenal sebagai pemasok bibit anthurium, nyatanya belakangan juga mulai mengambil dari sejawatnya yang tinggal di wilayah barat. Sentra-sentra anthurium pun ikut berubah. Dulu Solo, Karanganyar, dan sekitarnya kerap disebut “ibukota” anthurium. Namun, kini banyak kota-kota lain yang ingin memiliki “otonomi khusus” seperti itu. Sebut saja sejumlah kota kecil di Jawa Tengah bagian barat dan utara, atau kota-kota di Jawa Timur. Sang primadona juga bukan hanya jenmanii yang sudah tidak terjangkau harganya. Kini ada incaran baru: hookeri, garuda, atau wave of love yang juga punya banyak bentuk dan tampilan daun aneh. Fenomena lain yang tak kalah seru, adalah soal banyaknya jenis-jenis atau nama-nama baru anthurium. Saya pernah menulis di sebuah website, bahwa anthurium jenmanii punya ratusan nama. Tidak hanya dikenal dengan nama centong, jati, sawi, mangkok, jaipong, atau golok tapi lebih spesifik lagi. Sawi saja dibedakan lagi menjadi sawi ijo, sawi caisim, dan sawi bakso. Ada pula nama-nama seperu jenmanii supernova, innova, pluto, atan superboy. Seorang teman sampai terkekeh-kekeh. “Jangan-jangan jenmani superboy itu kalau dewasa dan jadi indukan nantinya diberi nama superman,” selorohnya. Belakangan saya juga diberitahu ada anthurium tulang ikan, api PON (Pekan Olahraga Nasional, red), sunita, ratu sirikit, dan big mama. Tak terhitung lagi nama-nama baru untuk anthurium-anthurium jenis hibrida atau hasil silangan. Silangan jenmanii dengan wave of love disebut jenwave, sedang silangan jenmanii dengan keris disebut jeker. Yang lumayan terkenal garong, silangan garuda dan corong. Alhasil, nama-nama anthurium kini seperti pasar malam. Setiap orang bisa ikut memberi nama asal tanaman sedikit berbeda dari yang ada. Hobiis, kolektor, penulis buku, pedagang, trader, atau brooker juga bisa jadi pesulap. Anthurium raffles bisa jadi bird’s nest. Kalau memang mirip, dengan senang hati diberi nama anthurium kobra kwl, anthurium king kobra, anthurium green kobra, atau anthurium superkobra. Pendeknya, lain ladang lain ikannya, lain pemilik lain namanya.
latah
[caption id=“attachment_2885” align=“alignleft” width=“466”] Anthu,. jenmanii “kobra”[/caption] Kalangan end user ikut latah. Banyak hobiis yang tadinya sudah memiliki black beauty penasaran kepengen memiliki black velvet atau black burgundi. Yang semula punya anthurium naga, kebelet memiliki anthurium kulit naga dan perut naga. Yang punya anthurium naga masih mencari-cari anthurium dragon yang konon bukan terjemahan naga. Pantas orang-orang Thailand bengong. Mereka rupanya tidak siap melihat akselerasi anthurium yang sedang terjadi di Indonesia. Secara terus terang mereka mengaku dalam soal tanaman satu ini mereka harus belajar banyak pada kita. Seorang penangkar di pinggiran Thailand rang selama ini getol memasok aglaonema menyebut negara kita sebagai negara seribu anthurium. Nyatanya hasil pabrikan mereka, berupa anthurium hookeri merah di sini biasa disebut hokmer, hookeri hijau alias green hookeri nama kerennya di tanahair, atau anthurium reinasong juga laris-manis diburu pembeli tanah air. Waktu pertama kali masuk tahun lalu, harga hokmer Thailand cuma Rp60-ribu per tanaman; hookeri hijau setinggi 30 cm hanya laku Rp20-ribu per tanaman. Itu pun diolok-olok. Namun, kini para juragan di Bangkok hisa petentengan. Mereka pasang harga seenaknya, dan kita mau juga membelinya dengan harga Rp350 ribu per tanaman ukuran sama dengan di atas.Toh, jangankan para pemain di negara Gajah Putih, orang kita saja bingung. Orang-orang Indonesia yang kerap ulang-alik naik pesawat terbang Jakarta Thailand mengaku tiba-tiba merasa jetlag melihat fenomena yang terjadi saat ini. Yang pasti, kini muncul konsumen anthurium baru, yaitu mereka yang membeli harga dan kelompok yang membeli nama. Kelompok pertama adalah para followers vang suka ikut-ikutan tren dengan membeli bibitan. Namun, ketika harga kecambah penmanii 2—3 daun naik dari Rp100 ribu menjadi Rp15O ribu, mereka langsung melupakannya. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang sibuk membeli anthurium-anthurium dengan nama baru. Meski kadangkala belakangan mereka baru menyadari bahwa tanaman itu tidak ada bedanya dengan koleksi sebelumnya. Belakangan ada pergeseran minat. Anthurium bertongkol laris manis diuber-uber. Ini menunjukkan pembeli anthurium makin pintar. Semua ingin jadi investor. Harga jual dan harga beli dihitung dari berapa panjang tongkol dan berapa jumlah biji yang dihasilkan. Roset-tidaknya tanaman, atau banyak-sedikitnya jumlah daun kini dianggap tidak terlalu penting. Masyarakat pun mulai merasa pandai menebak. Kalau jenmanii mahal, mereka didapat dan harga mulai melejit, mereka pindah ke gelombang cinta. Kalau gelombang cinta juga sudah susah dicari, mereka ancang-ancang mengincar garuda, corong, keris, dan dasi.
spekulasi
Kalau main tebak-tebakan semacam itu benar, kita mungkin bisa tidur nyenyak. Dan ketika bangun, bank di-rush, harta benda dilego, lalu semua uangnya ditanam untuk membeli anthurium. Nyatanya masih ada saja orang yang menjual dan anehnya tetap saja ada yang mau membeli dengan harga mahal. Ini menunjukkan orang masih gelisah, takut kelamaan memegang bola panas. Di tengah kegelisahan itu, kita pun sibuk menduga-duga. Jangan-jangan sedang terjadi money laundring alias praktik cuci uang. Ada juga yang mensinyalir, jangan-jangan ada permainan tingkat tinggi di sini. Anthurium diborong, tapi diam-diam diekspor ke Thailand, biar orang Indonesia membeli dengan harga mahal di sana lalu mengimpornya lagi ke tanahair. Snowballing effect, itulah kondisi yang sedang kita alami, kata penganut kepercayaan tersebut. Kalau saya boleh juga jadi tukang ramal, maka kemungkinan besar anthurium-anthurium indukan tetap memiliki nilai tinggi karena pasokannya minim Anthurium ukuran anakan atau remaja bisa jadi menjadi komoditas generasi berikutnya. Apalagi ada berita, sebentar lagi akan ada panen raya anthurium. Masalahnya apakah “fenomena kesurupan” itu masih akan berlangsung lama? Tenang saja. Kalau pun di suatu hari nanti pamor tanaman daun ini merosot, sepanjang kita mau belajar dari sejarah, harga biasanya tidak harus langsung terjun bebas ke bumi. Yang sudah jelas, kini kita memperoleh pelajaran, bahwa tanaman yang kerap menyita lahan kita itu, kalau kita rawat baik-baik, akan mendatangkan berkah juga.