Minyak Atsiri: Banyak Diminta, Penuh Kendala

  • 4 min read

Mimpi kali ye… Retorika Hughes, presenter acara televisi itu betul-betul dirasakan oleh Tharir. Sejak menjadi penyuling minyak daun cengkeh selama 10 tahun mimpi-mimpi terpendam bisa ia gapai. Ongkos sekolah 4 putera, rumah 200 m2 berdinding tembok, dan satu pick up L-300. Itu hasil 3 unit ketel sulingan yang tak pernah pelit mengucurkan 1,8 ton/bulan minyak. Dengan modal Rp25-juta ia menangguk laba bersih Rp9-juta per bulan. Minyak daun cengkeh itu dipasok Tharir ke pengepul di desanya dengan harga Rp33.000/kg. Jika mengantar langsung ke gudang PT Djasulawangi di Tulungagung, ia menerima harga Rp34.000/kg. “Selisih ngga seberapa, tapi repot bawanya,” ucap Tharir pekebun di Kecamatan Pule, Trenggalek, Jawa Timur itu. Ongkos produksi untuk 20 kg minyak Rp560.000/ hari/ketel. Dengan hasil penjualan Rp660.000/hari/ketel, mantan penjual bibit cengkeh itu meraup laba Rp100.000/hari/ ketel. Tharir adalah sekadar contoh sukses penyuling minyak atsiri. Banyak penyuling lain juga turut mengantungi untung. Haji Kiswandi bisa meraup pendapatan Rp 1,4-juta/hari. Itu diperoleh dari 1 ketel penyulingan nilam di Kecamatan Pekuncen, Banyumas. Begitu pula Joko Soendoro di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Setiap hari penghasilan Rpl-juta ditangguk dari sebuah ketel penyulingan serai wangi. Meski demikian dari hasil lacakan Mitra Usaha Tani di lapangan seperti Purwokerto, Ambarawa, Trenggalek, dan Lampung, tidak semua penyuling mampu meraup laba. Banyak penyuling gulung tikar karena kesulitan bahan baku.

Dekati sentra Bahan Baku Minyak Atsiri

Abdul Hadi di Desa Dawuanwetan, Banyumas, merasakan sulitnya memperoleh bahan baku. Ia butuh minimal 1 ton daun cengkeh untuk mendapat 25 kg minyak per ketel. Agar pasokan daun kontinu ia bermitra dengan 2 pengepul yang setiap hari berkeliling ke Karanggitung, Sumpiuh hingga Purworejo, Jawa Tengah. “Itu pun dapat sisa-sisa saja karena sudah diborong penyuling lain,” kata Abdul Hadi. Dua penyuling cengkeh lain di Ambarawa lebih ‘galak’. Mereka saling sikut untuk memperoleh daun cengkeh. “Sampai terjadi perang harga,” tutur Yatin, pengepul di Kecamatan Jambu, Ambarawa, yang acapkali mengisi kebutuhan kedua penyuling itu. Yatin sebetulnya mematok harga Rp500/kg, tetapi karena persaingan itu malah menikmati harga Rp650/kg. Untuk menyiasati sulitnya bahan baku, penyulingan dibangun di sentra-sentra meski perlu modal besar. Itu yang dilakukan Haji Soenarjo Soebagyo di Banyumas 3 tahun lalu. Dengan modal Rpl00-juta, ia mendirikan 2 tempat penyulingan di Banjarpatoman, Ciamis dan Pameumpeuk, Garut yang dikenal sebagai sentra cengkeh. “Dengan begitu ngga perlu susah-susah cari daun lagi,” kata Soenarjo, penyuling di Banyumas. Strategi berbeda dijalani Haji Apud, penyuling akarwangi di Kecamatan Leles, Garut. Ia justru memilih mengebunkan sendiri untuk memenuhi bahan baku sebanyak 2 ton/hari. Ia mengelola 10 ha akarwangi yang dipanen setiap 9 bulan. Setiap panen, Haji Apud memperoleh 12-15 ton/ha. Itu diperlukan untuk memasok 2 ketelnya yang menghasilkan 20 kg minyak per hari.

Harga Bahan Baku Yang Cukup Bersaing

Ketersediaan bahan baku memang menjadi hambatan bagi penyuling. Banyak pekebun malas menanam karena harga jual rendah. Mukhsin di Kecamatan Pekuncen. Banyumas memilih mengganti 300 m2 kebun nilam dengan padi. Perhitungannya, dari 300 m2 dengan populasi 3.000 tanaman, ia memanen 5 kuintal nilam basah/4 bulan. Harga sekilo nilam Rp250. Artinya ia mengantungi pendapatan Rp250.000/4 bulan. Dipotong biaya produksi Rp200.000, ia hanya meraup laba bersih Rp50.000/4 bulan. Padahal pada penanaman ke-2, produksi bisa anjlok setengahnya karena nilam terserang penyakit. Nasib serupa menimpa pekebun-pekebun akarwangi di Garut. Mereka menerima harga akarwangi Rp200/kg. “Untuk ongkos gali saja Rpl50/kg,” tutur Y. Sofyan Hamidian, Kasie Pengendalian Usaha dan Kemitraan Dinas Perkebunan, Garut. Tak heran pekebun lebih memilih komoditas lain yang dianggap menguntungkan, seperti sayuran dan tembakau. Alih profesi pekebun menjadi penyuling bukannya tidak ada. Menurut Tharir di Trenggalek, di desanya sudah 3 pekebun mencoba menjadi penyuling. Sayang, niat itu terbentur modal. Maklum, untuk membeli 1 ketel perlu merogoh Rp6,5-juta. Itu belum termasuk pembuatan bak, gudang, dan pembelian bahan baku. Minimal Rp 15-juta harus disediakan agar bisa berproduksi. Bila dipaksa berproduksi dengan modal cekak hasil sulingan bermutu rendah. Memang ongkos pembuatan ketel bisa dipangkas 70% jika diganti dengan drum bekas atau pipa ledeng. Namun, bahan-bahan itu mudah berkarat sehingga minyak yang dihasilkan keruh. Padahal eksportir menghendaki minyak bening.

Banyak dibutuhkan

Minyak atsiri sebagai bahan baku penambah rasa, parfum, dan farmasi memang banyak diminta. Data Badan Pengembangan Ekspor Nasional pada 2002 rata-rata ekspor minyak atsiri untuk 5 tahun terakhir mencapai US$51,9 juta dengan 77 negara tujuan ekspor. Singapura dan Amerika Serikat penyerap terbesar. Masing-masing menyumbang devisa negara US$20-juta/ tahun dan US$10-juta/tahun. Dari ekspor itu minyak akarwangi menempati permintaan tertinggi sekitar 12,47%. Yang lain minyak seraiwangi, 6,89%, minyak nilam, 60%, dan minyak jahe, 2,74%. Instansi terkait juga mendukung pengembangan minyak atsiri. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Bogor telah meneliti 4 klon nilam. Tujuannya agar produktivitas dan mutu minyak meningkat. Hasilnya didapat nilam dengan produktivitas 150 kg minyak/ha/tahun berkadar patchouli lebih dari 35%. Klon-klon itu akan dilepas sebagai varietas unggul pada 2003. Begitu pula dengan seraiwangi. Klon-klon unggul G1-3 dengan kadar minyak 0,8-1% dan kadar geraniol di atas 80% sudah diluncurkan. Namun, varietas itu belum berkembang karena pekebun lebih menyukai varietas dari Sri Langka yang produksi daunnya tinggi, tetapi bermutu rendah.