Panen Raya Ikan Sungai

  • 7 min read

Di tepi Sungai Batanghari, kata harian Kompas di satu pagi Mei 2003, sedikitnya terpasang 7000 unit keramba. Itulah yang terpantau dari sebagian pertanian sungai di seputar kota Jambi. Para “petani sungai” memanfaatkan jaring apung dan aliran sungai untuk budidaya ikan nila. Bagaimana di sungai sungai lain di seluruh Indonesia? Sesungguhnya, sungai bukan saja sumber dari seluruh agribisnis, tapi juga ibu dari peradaban manusia. Tanpa sungai, mustahil lahir pertanian dan kota kota besar. Tanpa sungai besar, manusia tidak pernah punya London, Cairo, New York, Paris, bahkan Palembang dan Surabaya. Hampir semua kebudayaan lahir di tepi sungai. Itulah sebabnya lagu “Bengawan Solo” menjadi sangat penting. Begitu juga sungai sungai yang disucikan seperti Gangga dan Yamuna di India; serta sungai Euphrat dan Tigris yang dilegendakan mengapit taman firdaus, sebagian dari surga yang diyakini oleh berbagai pemeluk agama. Sekarang, apa kabar sungai sungai kita? Juni 2002 lalu, ribuan ikan mati di kali Bekasi karena keracunan. Polusi juga membuat bermacam ikan sungai di Bandung, Surabaya, dan Jakarta bukan saja tak layak dikonsumsi, tapi juga punah. Di sungai sungai tercemar berat, tinggal ikan sapu sapu yang hidup. Padahal, dulu dua tiga generasi lalu, sungai adalah sumber nafkah, sumber protein, dan sumber penghidupan. Di sini pentingnya kita bicara tentang sungai. Mau cari contoh kongkritnya? Ambil saja, Brantas. Sungai Brantas hanya 320 kilometer panjangnya. Namun, ia menghasilkan beribu ton beras, berjuta watt listrik, dan tentu saja ratusan ton ikan sepanjang tahun. Jasanya yang terbesar adalah menjadi sarana perhubungan di sepanjang sejarah. Sungai ini telah melahirkan beberapa kerajaan sejak awal abad 8 Masehi, antara lain Kanjuruhan, Kahuripan, Kediri, Singasari, dan Majapahit di abad 15. Di sungai itu juga puluhan perahu nelayan, penambang pasir, pengangkut barang, menemukan rezekinya dari zaman ke zaman. Demikian juga para petani ikan. Bukan saja memanfaatkannya secara konvensional, tapi juga melakukan budidaya proaktif. Keramba dan jaring apung, hanya sebagian dari pemanfaatan air sungai. Lebih jauh dari itu untuk kolam, rumpon, dan perawatan kedung atau lubuk. Produk perikanan di sungai pun macam macam. Ada ikan, udang, belut, kepiting tawar, bahkan bulus atau kura kura darat. Tak pelak lagi, sungai adalah sumber protein yang perlu dilindungi ditingkatkan pemanfaatannya.

Salmon dan trout pelangi

Dua jenis ikan sungai yang paling populer dan bernilai ekonomi tinggi adalah salmon dan trout. Sampai sekarang, sungai sungai Kolumbia dan Willamet di negara bagian Oregon, baratdaya AS itu, sangat populer bagi para pencinta salmon. Saya pernah mengunjungi laboratorium di dasar sungai yang bertugas menghitung lalu lintas salmon di musim bertelur. Jangan lupa, periode memancing ikan pun sangat dibatasi, dan dikenakan pajak tinggi. Administrasi perikanan sungai lain yang cermat dan bagus adalah ikan trout pelangi (rainbow trout= Oncorhynchus mykiss). Ikan ini tersebar di sungai sungai pedalaman, termasuk Missouri. Di kawasan Arkansas, AS, misalnya, pembenihannya menjadi program konservasi yang klasik. Departemen Konservasi Missouri, misalnya, sudah mengelola Roaring River Fish Hatchery, yang dibangun sejak 1910, dan secara rutin melepaskan ratusan ribu ekor benih sejak 1937. Hasilnya? Jangan heran bila areal pemancingan di sungai itu setiap tahun dapat memproduksi ikan trout pelangi 80 sampai 100 ton! Musim memancing ikan dibuka tiap 1 Maret dan ditutup 31 Oktober. Proses pembenihan dimulai Februari ketika ikan bertelur. Setelah ditetaskan dan dirawat 15 bulan, bibit berukuran 25 sampai 30 cm siap dilepas. Hobi memancing ikan trout ini juga populer di Jepang. Keahlian memancing trout diteruskan dari kakek kepada cucu, dari generasi ke generasi. Ikan air tawar ini sangat disukai dan dijadikan lambang kesehatan bagi anak anak. Kalau di Sumatera mungkin setara dengan ikan patin dari Sungai Siak, atau ikan jurong dari Sungai Alas. Di kawasan tropis memang lebih banyak strain ikan sungai yang melegenda. Tetapi sayang, budidaya dan pemasarannya belum intensif. Pertama, karena kendala modernisasi dengan munculnya pencemaran dan perubahan gaya hidup. Kedua, pengelolaan sungai secara terpadu merupakan hal baru yang belum menyatu dengan pola hidup masyarakat tradisional kita. Kalaupun ada pemancing, penjala, tukang strum dan penuba ikan, sasarannya bukan pada mengembangkan. Apalagi melestarikan sumber daya alam.

Dari pembenihan sampai pemunahan

Sebetulnya, kekayaan ikan air tawar kita luar biasa. Berbagai jenis ikan, selain patin (pangasius), berbagai sungai di Kalimantan dan Sumatera menghasilkan ikan jambal, jelawat, baung, tilapia merah, belida, kelabau, tengadak, dan seterusnya. Gerakan kelompok penangkar dan penebar benih pun mulai tumbuh di berbagai daerah. Jenis jenis yang ditangkarkan bermacam macam. Mulai dari ikan mas hingga udang sungai. Untuk jenis ikan mas saja, saat ini paling sedikit 18 penangkar besar telah terdaftar di Departemen Pertanian. Mulai dari Kelompok Pedoia yang menyiapkan 10.000 ekor bibit ikan mas di Poso, Sulawesi Tengah; hingga penangkaran raksasa Wanasari Mina, yang memproduksi 42 juta benih bermacam ikan mas di Purwakarta, Jawa Barat. Sedangkan untuk ikan patin, lele, dan udang windu, tercatat sedikitnya 12 penangkar mandiri. Yang terbesar adalah Kelompok Penangkar Rawa Jurai, di Lampung Barat. Kelompok yang dipimpin oleh Yulia A. Y, itu setiap tahun menghasilkan lebih dari 6 juta benih lele dumbo berukuran 2 sampai 3 cm. Provinsi Lampung termasuk paling banyak memiliki penangkaran, baik untuk lele, patin, kakap putih, maupun udang windu. Bibit bibit itu dijual ke peternak dengan harga Rp 20 sampai Rp 500 per ekor. Gerakan penangkaran ikan ini jangan jangan bernasib mirip dengan usaha penanaman pohon atau penghijauan di berbagai tempat. Meskipun ada upaya menghutankan kota, menanami kembali areal hutan gundul, tapi belum mampu menghadapi laju penebangan besar besaran. Demikian juga yang dapat dialami penyelamatan dan pengembangan ikan sungai kita. Endi Setiadi Kartamihardja, cendekiawan muda dari Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, mempertanyakan dampak pembukaan lahan sejuta hektar. Itu identik dengan “mega proyek pemusnahan sumberdaya perikanan”. Dikatakannya, perairan Kalimantan mempunyai keragaman jenis ikan tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 394 jenis. Selama 15 tahun berturut turut (1980 sampai 1995) sebelum dilaksanakan proyek lahan gambut produksi ikan tawar (sungai, rawa dan danau) Kalimantan Tengah berkisar 50 sampai ribu sampai 42 sampai ribu ton. Angkanya cenderung terus menurun. Menurut perhitungan dinas perikanan setempat pada 1982, potensinya bahkan mencapai 72 sampai ribu ton. Tetapi setelah proyek lahan gambut berlangsung 3 tahun, hasil totalnya (1998) tinggal 29 ribu ton. Lebih lanjut, Kartamihardja mencatat, jenis ikan yang tertangkap pun ukurannya mengecil. Sebagai contoh, sebelum reklamasi lahan rawa didominasi oleh ikan gabus (haruan) dan setelah reklamasi didominasi oleh ikan pepuyu. Ukuran ikan gabus mengalami penurunan dari 0,5 sampai 2,5 kg per ekor menjadi 50 sampai 200 g per ekor demikian pula ikan pepuyu dari 50 sampai 150 g per ekor menjadi 25 sampai 75 g per ekor.” Tragedi perikanan sungai lainnya banyak terjadi di pulau sampai pulau yang semakin padat penduduk: Jawa dan Bali. Kelompok peneliti sungai Ecoton mencatat khusus untuk Kali Mas (bagian sungai Brantas yang membentuk delta Surabaya), strain ikan sungai melorot drastis, dari puluhan\tinggal belasan macam saja.

Swastanisasi

Akibatnya ada ikan sungai yang dulu dianggap biasa biasa saja, kini menjadi mahal karena termasuk langka. Tetapi yang menyedihkan banyak ikan sungai tak dapat lagi dikonsumsi. Harga ikan sungai secara umum mengalami kenaikan sejak awal 2003. Ikan j elawat yang dulu Rp20.000 sekilo menjadi Rp35.000 Sedangkan udang galah sungai Barito dari Rp30.000 telah berubah menjadi Rp50.000. Bandingkan dengan daging rusa / menjangan Rp30.000 atau ayam kampung /buras yang hanya Rp22.000 di tempat sama. , Artinya apa? Disadari atau tidak, ikan sungai mulai menjadi langka dan mahal. Ini berarti kesempatan bagi yang berminat mengembangkan. Di Sungailiat, pulau Bangka, sungai juga mulai menarik sebagai lahan rekreasi memancing udang galah. Koran Suara Pembaruan mencatat, di 7 kecamatan, masing masing terdapat 10 kelompok pemancingan. Munculnya organisasi pemancing dan bisnis pemancingan tidak dapat dibendung lagi. Masalahnya adalah siapa yang mengelola sungainya? Lebih lebih untuk sungai yang melalui beberapa kabupaten, sulit sekali dicari penanggungjawabnya. Ketika ikan gabus, tawes, dan mujair mabuk berlompatan menjauhi kali Bekasi, tak ada pencemar yang dapat disalahkan. Saat itu memang tidak terjadi hujan. Tapi air sungai melimpah, seperti ada banjir kiriman. Lebih buruk lagi, konon tak ada instansi yang mengelola setu. Singkatnya, manajemen sungai dan setu masih jauh dari harapan. Baik secara hukum, apalagi secara teknis, penanganan batang air masih menjadi masalah besar. Padahal, kunci keberhasilan perikanan sungai adalah pada penguasaan wilayah. Untungnya ada beberapa contoh bagus. Di Sungai Deli, Sumatera Utara, beberapa kuala atau lubuk berhasil dikembangkan ikan, meski rentan banjir. Untuk pengendalian aliran sungai ini pernah ada rencana swastanisasi. Namun, untuk mengelola sekitar 200 sungai besar di tanah air Indonesia, perlu kesadaran dan partisipasi masyarakat seluas luasnya. Pemanfaatan sungai bukan hanya menjanjikan lingkungan yang lebih sehat, tapi juga sebuah panen raya untuk generasi mendatang.