Ketika Pemasaran Terkendala Harga Vanili

  • 3 min read

Harga vanili kering yang ditawarkan hanya Rp 500.000 per kg kering. Buntutnya, 3 ton vanili asal provinsi paling timur Indonesia itu teronggok di gudang.

Tak hanya Apri Sukandar yang kesulitan memasarkan vanili asal Papua. Juminten, pengepul di Boyolali juga kelimpungan. Padahal, ketika harga vanili kering Manado laku di atas Rp 2-juta/kg kering pada April, wanita itu hanya memasang harga Rp 900.000/kg kering untuk 5 ton vanilinya.

Harwanto, pengepul di Temanggung, salah satu yang menolak pasokan vanili papua. Menurut Sidik, adik Harwanto, banyak eksportir menutup pintu untuk vanili jenis itu. “Kami sendiri punya pengalaman buruk dengan vanili papua. Ketika ditawarkan ke para eksportir langganan, mereka menolaknya,” papar Sidik ketika ditemui mitrausahatani.

Hal senada diungkapkan Petrus Parjiono. Vanili papua banyak ditolak eksportir lantaran pangsa pasar terbatas. Salah satu eksportir di Surabaya bahkan merugi lantaran 1 kontainer vanili papua yang dikirim ke Australia ditolak calon pembeli.

vanili papua berukuran lebih bongsor dibandingkan planifolia

Kendala Pasar Yang terbatas

“Vanili Indonesia kebanyakan dipasok untuk industri makanan dan minuman,” papar Suwandi dari PT Jasulawangi. Pasokan akan ditolak bila tidak memenuhi standar. Menurut Suwandi, kalangan industri makanan dan minuman kebanyakan menyerap vanili fragrans (Vanilla Planifolia, red).

Sedangkan vanili papua termasuk jenis tahitian (Vanilla tahitiensis, red). Rasa tahitian memang lebih manis daripada planifolia, tetapi aromanya lebih tajam. Tak heran jika vanili papua ditolak pembeli.

Ida Bagus Raka Wiryanatha, eksportir di Denpasar, mengakui, vanili papua sebenarnya juga punya pasar. “Ia vanili komersial seperti planifolia,” papar ketua Asosiasi Eksportir Vanili Bali itu. Hanya saja daya serap pasar vanili tahitian tak sebanyak planifolia hal ini disebabkan harga vanili bubuk tidak dapat bersaing.

Maklum, penggunaannya terbatas untuk industri parfum dan kosmetika. Bandingkan dengan planifolia-jenis yang banyak dibudidayakan di Jawa, Bali, dan berbagai wilayah Indonesia Timur-yang dipakai secara luas dalam industri makanan, minuman, es krim, maupun parfum.

Vanili tahitian juga dapat dipakai untuk industri makanan dan minuman. Contohnya di Amerika Serikat. “Di sana tahitian direkomendasikan untuk industri makanan seperti planifolia,” ungkap Presdir PT Bayu Jaya Kusuma itu ketika ditemui Mitra Usaha Tani di Jayapura.

Hanya saja, takaran pemakaiannya dalam formula harus diubah untuk mendapatkan rasa dan aroma produk sesuai keinginan konsumen. Resikonya, pabrik harus melakukan penelitian jangka panjang dengan biaya besar untuk mendapatkan formula yang tepat.

Kendala waktu

Selain mengandung vanilin, tahitian juga masih mengandung sekitar 200 komponen kimia. Di antaranya anisil alkohol, anisil aldehida, dan asam anisat. Ketiga senyawa yang tidak terdapat pada jenis planifolia itulah yang memberikan aroma tajam bagi tahitian.

Aroma itu yang membuatnya lebih diminati industri parfum, kosmetik, dan rokok ketimbang industri makanan. Karena serapan pasar terbatas, harga vanili kering di pasar dunia pun lebih miring dibanding planifolia.

Penghasil vanili tahitian terutama Tahiti dan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Di kawasan Asia ia banyak dibudidayakan di Papua Nugini. Negara-negara produsen itulah yang banyak memasok vanili tahitian ke pasar dunia. Mereka tak kesulitan pasar lantaran sudah punya market sendiri.

Krisis vanili di Indonesia pada 3 tahun terakhir membuat banyak pengusaha Indonesia mendatangkan dari Papua Nugini. Dengan harga vanili kering yang jauh lebih murah dan aroma lebih wangi, berton-ton vanili papua masuk ke Indonesia. Masyarakat Papua di perbatasan pun banyak yang tertarik mengembangkan lantaran banyak yang memburu pasokan. Padahal, “Perlu waktu panjang untuk merintis pasar baru untuk vanili papua. Sebab, ia termasuk mainan baru kita,” tutur Raka.

Referensi

http://pfaf.org/user/Plant.aspx?LatinName=Vanilla+planifolia