Perihal Retribusi dan Larangan Perdagangan Sarang Walet

  • 4 min read

Mungkin tak pemah terlintas di benak Anda perdagangan sarang walet nyaris dilarang. Konferensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Florida, AS, pada 1994 membahas kemungkinan itu. Usulan itu datang dari negeri pizza, Italia. Disinyalir walet hampir punah karena eksploitasi di negara-negara produsen, seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietanam. Kalau usulan diterima, Indonesia sebagai produsen sarang walet terbesar paling rugi. Ekspor sarang walet 200 ton per tahun bisa terhenti. Buntutnya ribuan peternak bangkrut dan puluhan ribu pekeija menganggur. Tentu kita tak tinggal diam. Delegasi Indonesia berusaha meyakinkan peserta konferensi bahwa ekspor sarang berasal dari budidaya di rumah walet. Tak mudah untuk melalukannya karena Indonesia harus membuktikan lewat sebuah workshop. Lewat keijasama antara eksportir, peternak, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Perlindungan dan Konservasi Alam (dulu PHPA-red) workshop diadakan di Surabaya pada 1996. Dari kegiatan itu tokoh-tokoh walet mancanegara yakin 90% sarang walet Indonesia berasal dari budidaya. Ini setelah mereka diajak meninjau rumah-rumah walet di Bangil, Pasuruan dan Sedayu, Gresik. Meski demikian diakui terjadi eksploitasi berlebihan di gua-gua walet. Hasil workshop dibawa ke konferensi CITES berikutnya di Zimbabwe pada 1997. Konferensi menolak usul Italia dan membebaskan perdagangan sarang walet seperti semula. Syaratnya, CITES meminta dibentuknya Taskforce yang beranggotakan negara-negara yang terlibat perdagangan walet. Taskforce bertugas menyelenggarakan sidang tahunan untuk membahas perwaletan. Misal merancang peraturan perdagangan sarang walet dan mengkoordinasikannya pada negara anggota. Atau mendorong penelitian mengenai walet, terutama walet gua. Hasilnya dilaporkan pada CITES. Dengan adanya Taksforce setiap negara produsen tidak dapat membuat aturan secara terpisah dan tersendiri.

Terkendala Peraturan Yang amburadul

Pelarangan perdagangan walet menunjukkan keputusan didasari informasi yang tidak lengkap. Akibatnya fatal. Di dalam negeri teijadi peristiwa nyaris serupa. Peraturan izin usaha walet atau izin bangunan rumah walet di setiap daerah berbeda. Lantaran ketidakjelasan itu, Pemda tertentu mempertimbangkan untuk menutup dan merelokasi rumah-rumah walet yang telah berproduksi. Padahal kenyataannya tidak mungkin memindahkan rumah walet bersama penghuninya. Walet burung liar yang datang dan pergi sesukanya. Aturan lain yang masih belum jelas mengenai retribusi. Pada era otonomi sumber pendapatan daerah menjadi penting. Maka hampir di setiap daerah ada retribusi hasil walet. Namanya memang berbeda-beda, misal retribusi pemetikan sarang

Retribusi dikenakan berdasarkan produktivitas rumah walet. Yang belum berhasil tak wajib membayar. Yang berproduksi sedikit bayarnya sedikit, bila sudah banyak retribusinya lebih tinggi. Misal rumah walet dengan produksi 1 kg per panen dianggap belum berproduksi karena hasilnya masih sangat sedikit. Bila mencapai 5 kg masuk kategori produksi sedikit; 10 kg, produksi banyak. Angka-angka ini tentunya masih bisa didiskusikan.

burung walet, retribusi hasil samping hutan, dan retribusi izin pengusaha sarang burung walet. Tarif dan cara penarikan pun bervariasi. Terkadang dibarengi aturan yang sulit dijalankan di lapang. Misal petugas memaksa masuk rumah walet padahal anakan belum siap terbang. Bila ini dilakukan tingkat kematian akibat anakan jatuh mencapai 30%. Sebenarnya pemerintah pusat sudah memiliki aturan dan arahan untuk pemerintah daerah tentang pungutan retribusi. Memang belum ada aturan yang jelas dan detail sehingga terjadi kesimpangsiuran di setiap daerah.

Bisnis yang menguntungkan

Ada anggapan bisnis walet adalah tambang uang sehingga dikenai retribusi tinggi. Anggapan yang keliru karena banyak juga pengusaha walet yang gagal dan bangkrut. Rumah yang hasilnya minim dan tak sebanding dengan investasi, merugi setiap tahun. Pertambahan populasi walet membutuhkan waktu lama hingga puluhan tahun. Krisis ekonomi yang melanda dunia, khususnya Asia, juga mempengaruhi harga sarang walet. Sarang putih yang pernah mencapai US$3.000 per kg, sekarang turun setengahnya tinggal US$1.600. Masalah keamanan juga jadi kendala lantaran pencurian di rumah-rumah walet makin menjadi. Investasi Rp 0,5-miliar- Rp 1-miliar untuk rumah walet yang diperoleh dari pinjaman bank sulit dikembalikan. Dari uraian-uraian itu jelas budidaya walet berisiko tinggi. Dengan mempertimbangkan hal itu diharapkan pemerintah daerah lebih bijaksana dalam membuat aturan retribusi budidaya walet. Misal tarif retribusi dikenakan berdasarkan produktivitas rumah walet. Yang belum berhasil tak wajib membayar. Yang berproduksi sedikit bayarnya sedikit, bila sudah banyak retribusinya lebih tinggi. Kriteria belum produksi, produksi sedikit, atau banyak disepakati bersama antara peternak dan pemerintah. Misal rumah walet dengan produksi 1 kg per panen dianggap belum berproduksi karena hasilnya masih sangat sedikit. Bila mencapai 5 kg masuk kategori produksi sedikit; 10 kg, produksi banyak. Angka-angka ini tentunya masih bisa didiskusikan. Peraturan yang jelas akan menarik peternak walet untuk berinvestasi di daerah tersebut. Peternak dan pemerintah daerah bisa bekerjasama secara saling menguntungkan. Akhirnya ini juga menguntungkan secara nasional karena menambah devisa.*) * ***