Pola Pertanian Padi Dengan Sistim Organik
- 6 min read
Bukan karena sentimentil bila pria paruh baya itu melongok ke masa silam. Empat tahun lalu, jangan harap menemukan belut dan cacing yang gemar bersembunyi di lumpur sawah. Tak ada lagi ikan yang bisa ikut ditangkap begitu padi berumur 3 sampai 4 bulan dituai. “Penggunaan pupuk dan pestisida kimia membuat mikroba alami sawah menghilang,” ujar pekebun berpengalaman puluhan fahun itu. Tak melulu itu. Para pekebun mulai kewalahan menghadapi lahan yang kian tak bersahabat. Struktur tanah mengerus kesuburan merosot tajam. Tebalnya lumpur sawah yang dtilu bisa sedengkul, kini hanya semata kaki. Itu dampak penggunaan terus menerus pupuk anorganik. Untuk menggenjot kesuburan, pekebun mesti royal memupuk. Setiap musim tanam dosis pemberian kian melonjak. Sekadar contoh, dosis anjuran penggunaan Urea 300 kg per ha. Namun, kenyataan pekebun membenamkan hingga 600 sampai 700 kg per ha. Kalau tidak begitu, produksi 7 sampai 8 ton gabah kering panen per ha yang diidamkan tak bakal tercapai. Paling hanya 5 ton.
Harga pupuk yang terus membumbung
Mudah ditebak, dengan harga pupuk yang terus membumbung, pekebun pun tercekik biaya produksi. Sementara kenaikan harga gabah tak sejalan. “Kalau dulu pekebun bisa menyekolahkan anak-i anaknya dari hasil sawah, sekarang i untuk makan saja susah,” kata Drs Soemarno, direktur PD Pelopor Alam Lestari. perusahaan daerah penampung pemasaran beras. Berbalik arah Kondisi mulai berubah ketika Ir beberapa pekebun pelopor, salah ‘satunya Ngadimin di Desa Jetak, Kecamatan Sidoharjo, Sragen, melirik cara bertani secara alami. Pun Paimin di Desa Glonggong, Kecamatan Gondang. Pupuk dan pestisida kimia perlahan ditinggalkan. Rabuk kimia digantikan kotoran dan sisa pakan ternak. Untuk mengatasi serbuan hama penyakit digunakan pestisida alami bila benar-benar dibutuhkan. Itu setali tiga uang dengan yang dilakukan para pekebun sebelum intensifikasi dan ekstensifikasi digembar-gemborkan pada era 1970-an. Hasilnya, tanah yang merana perlahan kembali subur. Organisme sawah pun betah tinggal. Ketakutan produksi bakal merosot tak terbukti. “Pada penanaman pertama produksi memang menurun, paling 10%,” kata Ngadimin. Setelah itu hasil panen kembali stabil. Kantong pekebun tak perlu terkuras habis untuk membeli pupuk kimia. Pada budidaya secara organik, penggunaan pupuk alami menekan kebutuhan pupuk kimia sampai akhirnya benar-benar hilang. Simak saja pengalaman Paimin. Pada pengalaman pertama berorganik pada akhir 1998 ia masih membenamkan 65 kg Urea di lahan 3.000 m2. Pupuk kandang 700 kg. Varietas yang ditanam IR-64. Musim berikutnya masing-masing 50 kg dan 700 kg. Dosis pupuk kimia terus berkurang hingga nol pada musim tanam ke-5 dan seterusnya. Pemberian pupuk alami stabil 600 sampai 700 kg. Meski begitu, dari hari ke hari produktivitas meningkat. Musim pertama dituai 1.820 kg; musim ke-2, 1.900 kg; musim ke-3,1.950 kg. Sejak musim tanam ke-5, produksi mencapai 2.050 kg dan cenderung stabil karena kesuburan tanah sudah mantap. Itu jelas berimbas pada peningkatan pendapatan pekebun. Apalagi padi organik dihargai lebih tinggi daripada padi hasil penanaman konvensional. Pada akhir Februari, gabah kering panen padi IR-64 organik di tingkat pekebun dibeli Rp 1.500 sampai Rp 1.600 per kg; konvensional Rp 1.100 per kg. Sementara biaya produksi bisa ditekan 25 sampai 30%. Wajar bila Ngadimin berujar, “Saya sudah mantap terus menanam padi organik.”
Jaminan Permintaan pasar
Melihat keberhasilan itu, pekebun lain mulai melirik. Sebut saja 10 anggota Kelompok Tani Mulya VI pimpinan Ngadimin. Masing-masing mengelola 1/3 ha. Pun tetangga kiri-kanan di kediaman Paimin yanag tergabung dalam kelompok Bumi Lestari. Euforia itu kian meluas ketika gerakan bertani kembali ke alam menjadi program kerja pemerintah daerah. “Bupati H Untung Wiyono sendiri yang mencanangkan program pertanian organik pada 2001,” papar Ir Soewarto, kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen. Maklum, kesuburan tanah yang terus merosot merupakan lampu merah buat kabupaten yang dikenal sebagai lumbung beras Jawa Tengah itu. Untuk mendukung program, pemerintah daerah berani menjamin pasar. PD Pelopor Alam Lestari (PAL) pun didirikan. Ia bertugas membeli gabah kering panen dari pekebun. Semua hasil panen padi organik siap ditampung. Syaratnya ada rekomendasi dari petugas penyuluh lapang. Lantaran merupakan barang baru, faktor kepercayaan diperlukan. Lembaga itu pula yang mengolah gabah menjadi beras siap konsumsi. Hanya yang berbulir penuh yang dipilih. Beras lantas dikemas dalam kantong berbobot 5 kg dan 25 kg. PAL pun rutin melakukan promosi ke berbagai daerah. “Supaya tidak menjadi bumerang bila nanti pekebun sudah banyak yang menanam, ternyata PAL tak bisa memasarkan. Apalagi tak banyak konsumen yang tahu beras organik,” kata Soemamo.
Metode Pertanian organik makin Meluas
Hasilnya kini mulai terasa. Pada musim tanam 2003, tercatat 1.892 ha areal penanaman padi organik. Lokasi tersebar di 20 kecamatan. Penanaman terluas di Kecamatan Kedawung, Masaran, Gondang, Sambungmacan, Ngrampal, Miri, dan Sambirejo. Di sana luas total masing-masing mencapai 100 sampai 260 ha. Selain IR-64, pekebun menanam mentikwangi dan rojolele yang termasuk padi dalam. Dibandingkan luas total penanaman padi yang mencapai 85.000 per tahun, jumlah itu terbilang kecil. Toh kian hari, kualitas “keorganikan” lahan terus meningkat. Total 1.892 ha, terdiri atas areal persawahan yang sudah ditanami secara organik minimal selama 3 musim tanam disebut semiorganik. Dari luasan itu 100 ha sudah organik mumi sudah ditanami alami lebih dari 7 musim. Di luar itu masih ada lahan yang baru 1 sampai 2 musim diperlakukan organik. “Bertani organik bukan berarti serta-merta mengganti pupuk anorganik dengan yang alami 100%,” papar Soewarto. Yang biasa terjadi, pada musim pertama pekebun mengurangi 25% penggunaan pupuk anorganik. Pengurangan ini diimbangi dengan penambahan pupuk alami dari kotoran ternak atau sisa pakan ternak. Dosis 2 ton per ha. Musim tanam berikutnya pupuk kimia direduksi 25% lagi, pupuk alami tetap. Begitu seterusnya hingga pada musim tanam ke-6 perlakuan sudah organik mumi. Untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik bermunculan kandang-kandang komunal di berbagai tempat. Dari sana pekebun mendapat bahan baku kotoran sapi dan sisa pakan untuk diolah menjadi pupuk. Bila pasokan bahan baku lokal seret, kotoran mentah “diimpor” dari Grobogan, Jawa Tengah.
Kendala dan permasalahan
Pemasaran beras organik terus berkembang. Selain, PAL muncul perusahaan-perusahaan swasta penampung gabah dari pekebun. Sebut saja PB Padi Mulya. Perusahaan milik Drs H Suyamto itu bermitra dengan beberapa pekebun di sekitar lokasi hulef di Duyungan. Konsumennya tak melulu pembeli di Sragen atau Solo berjarak 1 jam perjalanan. PAL rutin mengirim ke Jakarta, Semarang, Bandung, Bali, dan Surabaya. Pengiriman paling banyak ke 3 agen di Jakarta masing-masing 7 ton per minggu. yang ditawarkan hanya jenis mentikwangi. Padi Mulya menyetor mentikwangi, rojolele, dan IR-64 ke pelanggan di Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Sebuah tanda, meski bukan yang pertama, Sragen terbilang sukses menggerakkan roda pertanian organik. Penambahan pasar lumrah karena kini konsumen mulai melek terhadap manfaat beras organik. Setidaknya ia bebas pestisida sehingga aman dan sehat dikonsumsi. Hasil uji laboratorium Sucofindo nomor 2942297 dan 2942298 menunjukkan, pada beras organik asal Sragen tidak ditemukan residu pestisida. Setelah dimasak beras organik tak gampang basi dan tetap enak meski beberapa hari disimpan di wadah. Harga relatif mahal mentikwangi Rp4.000 sampai Rp5.000 per kg, rojolele Rp7.000; IR-64 Rp3.5 00 sampai Rp4.000, sementara IR-64 konvensional Rp2.500 sampai Rp2.750 sampai tidak menggetarkan hati. Arus organik di kabupaten yang berdiri pada 8 Agustus 1950 itu mendorong bergeraknya bisnis lain. Perdagangan pupuk kandang menjadi usaha yang menguntungkan. Terbukti banyak permintaan datang dari kabupaten lain. Kotoran ternak yang semula dibuang-buang kini dihargai Rp350 sampai 400 per kg. Yang jelas kini Ngadimin pergi ke sawah dengan sukacita. Di sana malai-malai padi yang merunduk menanti dituai. Anak-anak kecil ia biarkan memburu belut di lumpur yang gembur. Kenangan manis masa kanak-kanak 40 tahun silam kini kembali terulang.