Proses Sertifikasi Produk Pertanian Organik
- 4 min read
“Itu palsu. Di sini belum ada standar nasional untuk organik,” tutur Dr Ananto Kusuma Seta, kepala Sub Direktorat Pengelolaan Lingkungan, Departemen Pertanian. Ia menanggapi beredarnya label organik di kemasan sayuran. Label itu lazimnya berwarna merah, kuning, dan hijau sesuai kadar residu yang dikandung. Demi alasan kesehatan produk organik kini jadi santapan rutin ekspatriat dan masyarakat di kota-kota besar. Terbukti makin maraknya warung dan supermarket yang menjajakan pangan organik. Permintaan pasar domestik dan mancanegara meningkat 20-30% setiap tahun. Sayang konsumen kerap terkecoh dengan label bebas pestisida dan kimia di kemasan. Maklum, acapkali produsen mencantumkam produknya bebas kimia dan pestisida.
Secarik sertifikat modal utama pekebun organik .
Organik Ala tradisional
Hanya itu syarat produk organik? “Organik tak sesederhana itu. Ia merupakan sistem pertanian, baik dalam bentuk mentah, setengah jadi, maupun produk jadi,“ ujar Prof Dr Florentinus Gregorius Winarno, direktur utama M-Brio, lembaga sertifikasi. Jadi yang dianalisis bukan cuma produk, tapi juga lahan tempat komoditas dihasilkan. Itu pun belum bisa disebut organik jika tidak bersertifikat. Menurut guru besar IPB itu, produk itu digolongkan sebagai organik tradisional. Ia sekadar dibudidayakan tanpa pestisida dan pupuk kimia. Keabsahan produk organik didasarkan sertifikat yang dikeluarkan lembaga sertifikasi. Namun, untuk mendapatkan secarik kertas itu tak mudah karena belum ada standar nasional. Pekebun terpaksa menggunakan jasa auditor mancanegara. Agatho Elsener, pekebun organik di Cisarua, misalnya, harus pontang-panting mencari lembaga sertifikasi hingga ke Australia. Biaya yang dikeluarkan pun tak murah, di atas Rp30-juta.
Standar nasional
Padahal, jika Indonesia memiliki standar dan lembaga sertifikasi sendiri biaya bisa ditekan, cukup Rp5 juta- 10-juta. Sejak 2002 memang sudah ada lembaga yang menangani sertifikasi seperti Embrio dan Sucofindo. Sertifikat yang diterbitkan mengacu pada Codex Alimentrius Commission (CAC) dan International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM). CAC adalah lembaga yang dibentuk Food Agricultura Organization bertugas menstandarisasi produk pangan. Institusi itu bermarkas di Roma, Italia. Sedangkan IFOAM himpunan pelaku pertanian organik, bermarkas di Jerman. M-Brio dan Sucofindo harus menjalin relasi dengan lembaga sertifikasi di sana. Sucofindo misalnya, perusahaan yang berkantor di bilangan Pasarminggu, Jakarta Selatan, itu bermitra dengan Society General Survailance (SGS) di Swiss. Jika ada pembeli yang berminat terhadap produk organik Indonesia, SGS akan memberi mandat kepada Sucofindo untuk melakukan pemeriksaan. Yang diperiksa oleh Sucofindo lahan pertaniannya. Jika lolos uji, sertifikasi diterbitkan. Produsen yang telah disertifikasi berhak memasang logo organik di kemasan. Dalam peraturan pelabelan, produk boleh mencantumkan label organik atau “biologique”. Itu bila minimal 95% dari total komposisinya berasal dari pertanian organik. Komoditas yang tidak menggunakan pestisida dan bahan kimia dapat mencantumkan “chemical-free”. Jika masih menggunakan bahan kimia dengan dosis rendah disebut “reduced chemical”.
Transisi harus dicantumkan di label .
Dokumentasi
Di pasaran, harga produk organik relatif mahal. Itulah sebabnya label organik rawan pemalsuan. Menurut Iskandar, senior manager agricultural services Sucofindo, sertifikasi organik mudah diperoleh asal telaten. Pekebun harus mempersiapkan segepok dokumen yang berisi proses produksi. Sejak pembelian bibit hingga produk dikemas. Jadwal penyemaian, pemupukan, penyiangan, dan cara panen juga harus didokumentasikan. Rencana Kerja Jaminan Mutu (RKJM)-begitu mereka menyebut dokumen itu-berikut formulir pendaftaran dikirimkan ke lembaga sertifikasi. Pengiriman bisa melalui pos atau email. Dokumen itu lantas diperiksa kelengkapannya. Hanya butuh 2 pekan dokumen selesai diperiksa. Setelah itu lembaga penguji melakukan kunjungan lapang selama 1 bulan. Di sana data pekebun dicocokkan dengan kondisi lahan.
Lembaga akreditasi
Bila RKJM dan semua prosedur aktivitas operasi sesuai persyaratan: sertifikat diterbitkan. Ada 2 jenis sertifikat, transisi dan organik. Sertifikat transisi diberikan pada lahan yang selama 1-2 tahun tidak tersentuh bahan kimia. Namun, pekebun masih boleh menggunakan pupuk sintesis dengan dosis minim. Kata transisi itu harus dicantumkan di label kemasan. Transisi bisa meningkat menjadi organik setelah 6 bulan dipastikan lahan dan tanaman terbebas dari bahan kimia serta pestisida. Sertifikat organik bisa dicabut jika ditemukan bahan kimia terlarang dalam proses produksi. Lembaga sertifikat setiap 6 bulan melakukan inspeksi mendadak. Masa berlaku sertifikat IFOAM 3 tahun sedang SNI 1 tahun. Seperti surat izin mengemudi sertifikat itu bisa juga diperpanjang. Pekebun hanya membayar biaya sertifikasi tahunan dan perbaikan RKJM. Yang perlu diingat, sertifikat bukan jaminan suatu produk organik bebas masuk ke negara lain. Karena. “Tidak semua sertifikat bisa lolos (baca, diakui-red) di negara orang,” ujar Winarno. Syaratnya lembaga sertifikasi diakui oleh lembaga akreditasi yang kredibel, seperti IFOAM. M-Brio dan Sucofindo termasuk lembaga yang diakreditasi oleh IFOAM. Karena kurangnya fasilitas seperti di atas, perdagangan pangan organik di Indonesia terbilang lambat. Malaysia sudah jauh lebih maju. Di sana untuk memonitor ketertiban suplai produksi sayuran menggunakan satelit. Di tanah air penerbitan SNI saja baru setahun lalu. Itupun perangkatnya belum terbentuk sehingga belum bisa diterapkan. “Diharapkan dengan standar nasional bernomor 01-6729-2002 konsumen tidak ragu lagi dalam memilih produk organik.” ujar Ananto.