Prospek Pasar Cabai Diluar Pasar Induk

  • 5 min read

Tiga tahun lalu berkebun cabai terasa getir bagi Elka Purwantara. Ia menanam si pedas itu di lahan 3,5 ha. Elka menjualnya ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Pada puncak panen harga melorot tajam, Rp l.600 per kg dari sebelumnya Rp 3.500 pada awal panen. Eaba yang diimpikan pria humoris itu berbalik bagai mimpi buruk. Sulit dihindari Rp 60-juta terkuras dari pundi-pundi Elka. “Siasat memanen pada musim hujan tak dapat membantu menaikan harga. Sekarang banyak pekebun yang pintar mengatasi kendala hujan,” tutur Elka mengenang kegetiran itu. Kontras sekali dengan Lim Ming Hwe. Pekebun di Lumajang, Jawa Timur, itu memilih pasar antarpulau. Dua hari sekali ia mengirimkan 1 ton cabai ke Samarinda dan Balikpapan. Itulah agenda rutin Hwe Hwe-sapaan akrab Lim Ming Hwe-sejak 1999. Sebelum dikapalkan melalui Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya, mereka menyepakati harga.

Pasokan cabai tanah air relatif stabil

“Klien saya biasanya telepon untuk memberi tahu harga saat itu. Saya berani mengirimkan jika terdapat selisih harga minimal Rp 1.500 per kg dengan di Jawa,” ujar Hwe. Harap maklum, soalnya ia mesti memperhitungkan ongkos kapal laut Rp 500 dan kemasan Rp 150 per kg. Laba berlipat Cabai dikemas dalam kardus dan siap menempuh perjalanan 36 jam tanpa kerusakan berarti. Memasok pasar antarpulau, menurut Hwe acapkali memberi keuntungan lumayan. “Kalau di sana lagi kosong keuntungan bisa 300%,” ujar mantan pekebun tembakau itu. Penanaman cabai intensif skala luas memang belum ada di Balikpapan dan Samarinda. Oleh karena itu masyarakat setempat mengandalkan pasokan dari luar pulau. Namun, kadang-kadang pekebun Sulawesi Selatan juga turut mengisi pasar 2 kota besar di Kalimantan Timur itu. “Sulit diprediksi kapan mereka panen,” ujar anak ke-3 dari 6 bersaudara itu. Ketika Mitra Usaha Tani ke sana, harga sayur-mayur termasuk cabai agak turun lantaran kapal dari Makassar merapat. Angkutan laut itu membawa hasil panen pekebun Sulawesi Selatan. Selain cabai Hwe juga memasok tomat, melon, dan semangka. Dengan begitu kerugian dapat dihindari lantaran Hwe Hwe baru mengirimkan jika dinilai menguntungkan. Kesinambungan pasokan terjaga lantaran Hwe Hwe mengelola lahan 70 ha di kaki Gunung Semeru hingga Pantai Bambang, Lumajang. Lahan itu tak hanya ditanami cabai, tetapi juga komoditas hortikultura lain.

Peluang Pasar ekspor

Pasar antarpulau salah satu bentuk pasar alternatif. Bentuk lain, misalnya pasar ekspor seperti ditempuh Freddy Salim. Pekebun di Ambalgading, Pemalang, itu sejak 1990 mengekspor cabai ke Singapura dan Taiwan. Jika pasokan dari pekebun kompetitor asal Malaysia berkurang, volume ekspor Freddy 2 ton sehari. Namun, ketika Singapura dibanjiri cabai Malaysia, pemilik Hotel Segoro itu hanya mengekspor 200 kardus. Standar kualitas yang diminta konsumen, bentuk, panjang, dan warna seragam, lurus, merah mulus, tanpa cacat, serta bebas serangan hama penyakit. Awal tahun ini sebagian kegiatan bertanam cabai terpaksa berhenti lantaran, “Saya kesulitan mendapatkan lahan. Mungkin mulai lagi Maret nanti,” ujarnya. Standar mutu sama juga berlaku untuk negara-negara Eropa yang dipasok Ir Dika Rina Kuki. Setiap pekan Dika mengekspor ke Belanda, Jerman, dan Perancis. Di samping itu, ia juga mengirimkan ke Jepang. Volume untuk masing-masing negara tujuan 500 kg per sekali pengiriman. Begitu menggondol gelar sarjana, alumnus Fakultas Pertanian IPB itu bersama 3 rekannya mengibarkan PT Tatanindo Agroselaras (TAS). Bisnis inti perusahaan yang berdiri pada 1991 itu mengekspor hortikultura dan memasok pasar lokal.

Pemasaran Manfaatkan pameran

Pasar mancanegara diraih TAS setelah berpameran di Amsterdam, Belanda, pada 1992 dan Jepang pada 1994. Setelah itu importir datang ke Indonesia untuk mengecek kredebilitas TAS. “Yang lama justru memenuhi permintaan desain pengemasan,” ujar Dika. Enam bulan setelah pameran itulah TAS mengekspor perdana ke Eropa. Sementara pasar negeri Matahari Terbit baru diraih pada pertengahan 1997. “Jepang lebih ketat persyaratan ekspor,” katanya. Cabai segar dikemas dalam kardus berbobot 2 kg, 3 kg, dan 5 kg tergantung permintaan importir. Biaya kemas untuk masing-masing bobot Rp 3.000, Rp 3.600, dan Rp 4.000 per kg. Adapun biaya penerbangan US$2,8. Seperti jamak dikeluhkan pengusaha agribisnis lain, biaya penerbangan itu memberatkan. TAS memperoleh cabai dari pekebun di berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Selain dari Bandara Soekarno-Hatta TAS juga mengirimkan melalui Bandara Ngurah Rai. Pasar lokal tentu tetap dipasok TAS walau volume realtif kecil kecil. Sekitar 7 hotel di Bandung dan 12 di Jakarta menyerap puluhan kilogram per hari. Pasar-pasar swalayan di kedua kota itu merupakan konsumen lain TAS. Perusahaan-perusahaan besar dengan banyak karyawan merupakan jenis konsumen lain. Itulah yang dibidik Asep D. Herman, pemasok aneka sayuran di Bandung. Setiap 2 pekan ia mengirimkan 6 kuintal ke perusahaan pertambangan di Papua. Dari Bandung cabai dikirim ke Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Ongkos pengiriman melalui kapal laut ditanggung pemesan.

Pasar alternatif

Mustari Anies juga menciptakan pasar alternatif dengan menepungkan cabai. Dari usaha itu direktur utama PT Ganesha Abaditama itu meraup omzet minimal Rp 20-juta per bulan dari penjualan 3,5 ton tepung cabai, (baca: Tepung Cabai Tambang Rupiah Mustari). Hal sama ditempuh Sri Daryati dari PT Temu Kencono. Produsen tanaman obat itu memasarkan cabai sebagai bumbu masak instan. Sepekan ia mengeringkan 1 kuintal untuk ditepungkan. Setelah dicampur dengan bahan lain, bumbu dikemas 7 g yang dijual Rp 900. Tujuh bumbu instan ia ciptakan seperti rendang, rawon, opor, dan soto. Ia memasarkan cabai sebagai upaya bertahan. Pascakerusuhan Mei 1998 perputaran uang di perusahaan yang ia kelola seret lantaran banyak konsumen menunda pembayaran. Temu Kencono tak sekadar bertahan hidup, tetapi ia juga meraup laba dari olahan cabai itu. Pasar ekspor, antarpulau, dan olahan hanya beberapa pasar alternatif di luar Pasar Induk yang semakin dibanjiri pekebun cabai. “Sekarang memang agak sulit mencari pasar eksor karena saingan juga banyak. Thailand misalnya, besar-besaran mengembangkan agribisnis,” ujar Dika Rina Kuki. Walau demikian tampaknya pasar alternatif itulah yang mesti dikejar. Laba yang diimpikan pekebun, bukan lagi bagai bunga yang layu sebelum berkembang.