Raja Arwana dari Bumi Khatulistiwa
- 5 min read
Dengan 1.600 ekor induk, PT Wajok Inti Lestari (WIL) menjadi salah satu eksportir terbesar. Dalam semester pertama 2002 WIL melempar 2.703 ekor arwana merah (super red) ke pasaran. Masing-masing 1.709 ekor ke Jakarta, dan 994 ekor ke Malaysia, Taiwan, serta Singapura. WIL juga mengekspor 850 ekor kuning banjar (banjar red) dan 950 ekor kuning riau (golden red) ke Taiwan dan Malaysia. Kalau harga rata-rata per ekor Rp3-juta, tahun ini minimal Rpl3,5-miliar mengisi kantung The Hendrie, pemiliknya. Sampai Agustus 2002 produksi WIL tercatat 7.265 ekor. Masing-masing 2.725 ekor arwana merah, 1.373 ekor kuning riau, 1.387 ekor banjar, dan 1.780 ekor hijau. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding 3 penangkar besar lain di Kalimantan Barat. Sebut saja PT Istana Arwana Indah dengan total produksi 2.797 ekor; PT Dinamika Kapuas, 1.550 ekor. PD Bintang Kalbar yang menjadi eksportir terbesar hingga 1999 malah baru 1.035 ekor pada periode sama. Sejak 2000 The Hendrie memang menargetkan produksi 15.000 ekor per tahun. Wajar, dari sekitar 1.600 induk setidaknya 500 ekor di antaranya merupakan induk produktif yang diandalkan. Maklum, “Rata-rata seekor induk menghasilkan 30 ekor per tahun,” papar pria beranak 2 itu.
Air Dari Sungai Kapuas
Saat ini WIL mengelola 31 kolam produktif berukuran 10 m x 60 m dan 10 m x 70 m di Desa Kualadua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak. Sebuah kolam berbentuk huruf “U” sepanjang 10 m x 800 m di Desa Wajok, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Pontianak disekat mengoleksi anggota keluarga Osteoglossidae setelah terbit SK Menteri Pertanian No. 716/Kpts/Um. 10/1980. Pada intinya surat keputusan itu menetapkan arwana sebagai satwa langka yang dilindungi. Jauh sebelum berbisnis arwana, The Hendry menangkarkan botia. Hasil tangkarannya malah memiliki pasar cukup petak di Kualadua diisi 30-40 ekor induk, sedangkan kolam di Wajok diisi 60-70 ekor per petak berukuran 10 m x 100 m. Kedua lokasi itu memang terletak di pinggir Kapuas, sungai terpanjang di Kalimantan yang menjadi habitat alami arwana merah. Kecuali kolam “U” yang otomatis tersusun seri, kolam yang lain dibuat dalam 2 deret dengan sistem paralel. Sebelum masuk ke kolam penangkaran, air dari Sungai Kapuas dipompakan terlebih dahulu ke kolam penampungan selebar 4 m yang dibuat memanjang mengelilingi areal kolam. Kedua deret kolam dipisahkan oleh saluran pembuangan selebar 3 meter berkedalaman 4 m. Saat ini pria setengah baya itu juga masih membangun 11 kolam berukuran 10 m x 70 m di lokasi penamparan seluas 12 ha di Desa Kualadua. Sebab menurutnya, prospek pasar arwana terbuka lebar. “Sejak awal bermain di arwana saya belum pernah menemui kesulitan pasar,” paparnya. Apalagi setelah pemerintah mencabut sistem kuota ekspor pada akhir 1994. Tak ada seorang asing pun yang bisa masuk lokasi tanpa seizin pemilik. Sebab sebagai mesin uang beromzet miliaran rupiah, Hendrie menerapkan sistem pengamanan ekstraketat. Bayangkan, untuk mencapai lokasi kolam Mitra Usaha Tani harus menembus 3 lapis pagar setinggi 4 meter. Pagar pertama dan kedua berkonstruksi beton. Pagar ketiga yang langsung memagari areal kolam hanya berupa kawat kasa. Tak cukup dengan sistem pagar berlapis, kakek dari 2 cucu itu juga masih menempatkan puluhan ekor anjing untuk menjaga lokasi.
Sejak 1981
Izin penangkaran memang baru dikantungi The Hendrie pada Mei 1990. Namun, ia sebetulnya termasuk orang pertama yang memasarkan arwana sebagai ikan hias pada 1981. Sebelumnya, arwana masih dijadikan ikan asin kelas dua di Kalimantan Barat. ‘Saya melihat keanggunan dan keindahan arwana merah memiliki prospek sebagai ikan hias,” urai kakek dari Merry dan Michelle itu. Apalagi saat itu banyak kalangan yang tertarik luas. Dengan pengalaman itu tak sulit baginya untuk memasarkan “ikan hias baru” itu. Malah, “Banyak yang langsung menjemput arwana di sini,” ungkapnya. Karena pembeli berani membayar Rp700.000/ekor ukuran 20 cm, dan Rp3-juta-Rp6-juta/ekor ukuran 50-55 cm, Hendrie makin terpikat. Kerap ia berburu hingga Danau Sentarum di wilayah Kapuas Hulu untuk mendapatkan pasokan. Meski banyak yang berminat, tak semua ikan terkumpul dijual. Ikan tak terjual dilepas di kolam penampungan air yang dibuat untuk penangkaran botia sambil dipelajari teknik pemeliharaannya. Ternyata, arwana mampu beradaptasi dan hidup dengan baik di habitat baru. Malah, suatu hari pada 1984 ia menemukan beberapa ekor membawa burayak. “Sejak itulah terbersit keinginan untuk menangkarkan sendiri,” tutur kelahiran Pontianak 62 tahun lalu itu.
Tangkapan alam dan F1
Untuk memenuhi obsesinya ia pun meminta para pemburu langganannya untuk memasok calon induk. Setelah sekitar 100 ekor induk tangkapan alam terkumpul, ia pun resmi memulai usaha penangkaran paj^ l985 meski tanpa ijin. Induk dimasukkan ke kolam “U” yang biasa ditempati botia. Sejak itulah ia mulai memanen 400-500 ekor anakan/ tahun. Ikan hasil tangkarannya tak semuanya dilempar ke pasaran. Beberapa ekor dipertahankan sebagai calon induk. Ia pun masih memburu calon induk tangkapan alam untuk menambah koleksi. Apalagi setelah salah satu eksportir pemegang izin melirik 400 ekor tangkarannya untuk dipasok ke pasar Jepang pada 1991. Mendapat tambahan calon induk, kolam disekat menggunakan jaring menjadi 2 bagian. Calon induk baru ditempatkan di petak yang masih kosong. Sampai 1990 setidaknya 200 induk dimilikinya. Ia pun kembali menyekat kolam menjadi 4 bagian. Terakhir pada 1994 kolam U miliknya telah disekat menjadi 8 bagian dan diisi 200 ekor tangkapan alam dan 277 ekor induk F1 hasil tangkaran. Tak puas melakukan ekspor lewat pihak lain, warga Tanjungpura, Pontianak itu mengurus izin ekspor sendiri. Untuk keperluan itu ia mendirikan PT Wajok Inti Lestari. Izin ekspor dikantungi pada 1992. Sejak itulah bendera WIL berkibar di Singapura, Jepang, Hongkong, dan Taiwan. WIL kembali memperluas usaha penangkaran untuk memenuhi permintaan pasar ekspor yang terus meningkat. Tak tanggung-tanggung, 31 kolam langsung dibangun pada 1997 dan diisi dengan induk F1 hasil tangkarannya. Jumlahnya tak kurang dari 1.000 ekor. Sejak 1998 beberapa induk mulai berproduksi. Kini, ada 5-6 kolam yang dibuka setiap bulan untuk dipanen anakannya. “Rata-rata 4- 5 induk berisi 20-50 ekor dapat dipanen dari setiap kolam,” ungkapnya. Tak heran jika ekspornya terus meningkat. Pada 1998 ekspor arwana merahnya tercatat 741 ekor; 1999, 1.436 ekor; 2000, 600 ekor; dan 2001, 1.644 ekor. Semua mengisi pasar Jepang, Singapura, dan Malaysia.