Saat Sang Kolonel Disihir Bonsai
- 3 min read
Raksasa kecil bergaya broom itu memang salah satu kebanggaan lantaran tampil prima. Tumbuh di pot berukuran 150 cm x 80 cm bermedia pasir malang miskin hara, tapi daun lebat menutup sekujur tajuk. Batang, cabang, dan akar baru terus tumbuh tumpuk-menumpuk sehingga pohon terkesan liar. Meski berupa bonsai, saking besarnya, untuk memindahkan posisi pot bukan perkara mudah. Butuh 8 orang untuk mengangkat beringin itu. Setiap pagi atau sore, Sapto menikmati dan merawatnya. “Kalau urusan bonsai tak ada bosannya,” ungkap Sapto.
Keunikan tersendiri
[caption id=“attachment_3156” align=“alignleft” width=“354”] Saptodarsono dengan mustam andalan[/caption] Di halaman seluas 100 m2, sekitar 100 bonsai lain ikut menyesaki. Kerabat fikus paling banyak dikoleksi—sekitar 20 pohon. Pria yang tetap gagah di usia tua itu jatuh cinta pada fikus lantaran penampilan elegan. Daun lebat tersusun rapi dengan batang ditumbuhi akar udara. Pohon terkesan tua dengan mencengkeram kuat batu. Selain beringin, mustam berbatang hitam legam favorit lain. “Mustam istimewa karena satu-satunya pohon berbatang hitam yang menarik untuk dibonsai,” ujar penggemar batu suiseki itu. Ia mendapatkannya dari Solo. Sosok nyaris sempurna. Tajuk, percabangan, dan perakaran tertata rapi, dengan batang keras dan hitam legam. Purnawirawan Kolonel Angkatan Darat itu juga mengoleksi bonsai-bonsai unik, seperti serut Streblus asper. Tanaman setinggi 80 cm itu berbonggol besar mirip adenium, padahal bukan jenis berbonggol. Umur rentalah yang membuat batangnya membengkak berdiameter 25 cm. Di atas bonggol muncul batang kecil. Tajuk kemudian dibentuk mengikuti kaidah bonsai sehingga bagian atas tetap mini. Meski tak memenuhi kriteria bonsai yang baik, keunikannya membuat Sapto tertarik. Sebuah bahan bonsai dari Cina juga kebanggaan penggemar olahraga tenis itu. Bonsai yang tak diketahui jenisnya itu batangnya berbentuk mirip jerapah. Ia mempunyai empat kaki dengan leher panjang sebagai batang utama. Karena baru datang, tajuk belum dibentuk.
Gara-gara azalea
Cemara udang dan hokian tea juga dikoleksi. Bonsai-bonsai itu ditata di atas pilar dengan gaya bervariasi. Formal, informal, berkelompok, on the root, atau batang berbonggol. Kecintaan Sapto—sapaan akrab Saptodarsono—pada bonsai berawal 9 tahun silam. Keinginan mengisi waktu luang membawanya ke sebuah gerai bonsai di Cipanas, Cianjur. Azalea berbunga segera memikat perhatian ayah 3 anak itu. Toh, ia tak segera membeli karena harga tanaman setinggi 15 cm itu Rp35.000 dinilai mahal. Setelah tahu tanamar kecil itu merupakan bonsai, dua azalea dibawa pulang. Di rumah, bonsai kecil itu menghipnotis Sapto. Tiada hari dilewatkan tanpa kedua azalea. Berbagai buku yang dilahap membuatnya kian cinta pada tanaman mini itu. Satu demi satu bonsai beragam jenis mengisi halaman hingga sesak. Karena jam terbang rendah beberapa tanaman mati gara-gara salah menggunakan media. Meski begitu kelahiran Kediri 64 tahun lalu itu tak jera. Agar tak kecolongan lagi, ia rajin berkunjung ke sentra bonsai seperti Pluit, Jakarta Utara. Ia pun bergabung dengan Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia pada 1996. Buka galeri Koleksi ketua PPBI cabang DKI itu memang belum sampai taraf terbaik nasional. Namun, beberapa di antaranya masuk nominasi terbaik. Tak heran mulai banyak yang berminat membeli koleksinya. Melihat itu, Ketua PPBI Pusat sejak 2003 itu tergoda untuk membuka gerai di Pluit. Di sana jenis-jenis komersil, terutama cemara udang dan santigi dipajang. Kegemaran mantan pengelola kompleks Gelora Bung Kamo itu berburu bonsai membuat galerinya cepat sesak. Oleh karena itu, sebuah galeri kembali dibuka di Cisarua. Nurseri di daerah dingin itu menjadi bengkel pembuatan dan perawatan bonsai. Setelah siap, tanaman diangkut untuk dipajang di Cinere, Depok atau Pluit, Jakarta Utara.