Sapu Sapu Dari Ciliwung dan Amazon: Nama Sama, Nasib Beda
- 5 min read
Hypostomus pernah tren di era 1980-an. Sayang coraknya yang melulu hitam, ditambah membeludaknya populasi membuat hypostomus bernasib mengenaskan, dibuang ke kali Di kali Ciliwung mereka hidup soliter atau berkelompok. Di sana para pelahap lumut itu diburu untuk dicacah dan diberikan ke itik sebagai menu pakan. Itu nasib sapu-sapu hitam. Lain lagi pleco di Sungai Amazon. Sungai itu dihuni oleh 200 jenis sapu-sapu. Hampir semua bernasib bagus: diambil untuk dipelihara. Penyebabnya hanya satu, corak pleco panggilan sapu-sapu di dunia perdagangan internasional itu menarik. Ambil contoh Hypancitrus zebra yang bergaris hitam putih. Keindahannya membuat Jeffrey Christian kepincut. Direktur CV Maju Akuarium itu sejak 2 tahun lalu mendatangkan Hypancitrus zebra dari Brazil. Yang didatangkan cuma 20 ekor dan dipelihara di 2 akurium 40 cm x 60 cm x 40 cm. Yang 20 ekor itu sekarang sudah berlipat ganda menjadi 200 indukan siap kawin. Ia berencana mengekspor ke Inggris, Hongkong, dan Amerika jika jumlah indukan mencapai 1.000 ekor. “Serapan ekspor besar dan kontinu,” ujar Jeffrey.
Ekspor terbuka
Peluang ekspor sapu-sapu hias terbuka lebar. Yang dicari tentu saja pleco bercorak, seperti Hypancitrus zebra, Xingu baryancistrus, Hypancistrus sp., para pleco, sturisoma, dan ancistrus albino. Kini jenis-jenis itu telah hadir di tanah air untuk diekspor, meski dalam jumlah terbatas. Nun di Tangerang, Herman Oei, sudah 4 tahun mengirimkan Hypancitrus zebra ke Amerika dan Jerman. “Ada 10.000 ekor saja pasti laris manis,” ujar pemilik PT Asher Primatama Lestari. Sayangnya, si hitam putih itu langka. Setiap bulan Herman hanya mampu menjual belasan pleco zebra. Padahal, Amerika dan Eropa meminta masing-masing 1.000 ekor/bulan. Negeri Kanguru meminta Struisoma panamense. Jenis itu rutin diekspor Mohammad Saldi sebanyak 1.000 ekor/ bulan. Bahkan Riyadh, Arab Saudi, kini getol memesan ikan pembersih akuarium itu. “Negara itu rutin memesan 5.000 ekor/bulan,” ujar Saldi yang hanya bisa mengirim 1.000 ekor/bulan.Hasil ternakannya dalam bak semen 3 m x 1,5 m baru 100 ekor/ bulan. Sisanya diperoleh dari peternak di sekitar Jakarta dan bogor Jenis hypostomus albino pun digemari kedua pasar itu. Pemilik Javana Aquatic itu rutin mengekspor 1.000 ekor/minggu ukuran 4 sampai 5 cm. Angka itu jauh di bawah permintaan Riyadh dan Australia yang mencapai 5.000 ekor/bulan. “Bila dihitung-hitung permintaan bisa naik 100%, tapi barang kurang,” ungkapnya. Negeri Kincir Angin pun meminta jenis itu. “Seminggu sekali ekspor ke Belanda sebanyak 200 ekor ukuran 5 cm,” ujar Feni, ketua Koperasi Perikanan Kota Bogor. Bagi alumnus Akademi Wiraswasta Dewantara di Jakarta itu, tidak sulit menawarkan si albino. Awalnya, pada 2005 Belanda hanya meminta 50 ekor. Selain peternak di tanahair, Singapura pun kebanjiran permintaan sapu-sapu hias. Menurut Teo Boon Hock, general manajer Qian Hu Fish Farm Trading di Sungai Lekar, Singapura, kenaikan permintaan terjadi sejak setahun terakhir. Jenis yang diminta beragam, mulai ukuran jumbo seperti Baryancistrus scarlet, Pseudacanthicus sp sampai Baryancistrus golden nugget yang berukuran lebih besar, langsung dari Amerika Selatan.
Harga Jual yang Melambung
Kelangkaan jenis-jenis itu membuat harga melambung. Pada 2003, Hypancitrus zebra ukuran 4 cm dijual Rp400.000/ekor dan naik Rp2,5- juta/ekor pada 2005. Awal 2007 melambung hingga Rp3,5-juta/ekor. Kenaikan harga juga terjadi pada Struisoma panamense. Untuk mendapatkan seekor struisoma ukuran 5 cm, Saldi membayar Rp 17.500 ke pemasok. Dijual kembali ke pasar ekspor senilai Rp35.000/ekor. Padahal, pada 2004 harga jual ekspor Rp25.000/ekor ukuran 5 cm. Yang harganya stabil hanya Hypostomus albino. Awal 2007, ukuran 5 cm seharga Rp500/ekor dan Rpl.500/ekor ukuran 10 cm. Harga itu sama seperti tahun sebelumnya. Qian Hu menjual Baryancistrus scarlet Rpl00.000/ekor ukuran 6,25 cm. Baryancitrus ukuran 7,5 cm Rp 125.000. Pseudacanthicus sp 6,25 cm dijual Rp225.000/ekor dan ukuran 30 cm Rp 1,6 juta/ekor. dengan harga jual setinggi itu modal yang dicemplungkan sudah kembali setahun kemudian. “Total modal pembelian ikan, akuarium, dan sewa lahan Rp 180- juta, kembali dalam setahun," ujar Saldi yang memperoleh omzet Rp20-juta/bulan.
Prospek bisnis yang bagus namnun terkendala sapu sapu Sulit bertelur
Bisnis sapu-sapu hias memang bagus, tapi beberapa kerikil siap menghadang. Untuk membesarkan induk saja butuh waktu lama, 3 sampai 4 tahun sampai siap kawin. “Setelah 8 cm, sapu-sapu baru belajar bertelur," ujar Jeffrey. Saat perkawinan terjadi suasana harus tenang dan tidak ada cahaya langsung. Misalnya sinar dari senter. Induk kaget bila melihat cahaya sehingga gagal kawin. Setali tiga uang dengan Rajanta Rahardja di Bogor yang menernakkan 19 indukan Hypancitrus zebra ukuran 8 sampai 10 cm. Ia meletakkan indukan-indukan itu dalam akuarium pemijahan berukuran 1,5 m x 0,7 cm dengan ketinggian air 50 cm. Musibah datang saat listrik mati selama 1 jam. Kondisi itu mengagetkan betina yang tengah menggendong telur sehingga sebagian lepas. Akibatnya dari 20 burayak tersisa hanya 10 ekor. Melihat kejadian itu Rajanta memindahkan burayak-burayak itu ke akuarium 1 m x 0,4 m. Sayang, 3 sampai 5 hari kemudian satu per satu burayak mati. Sapu-sapu juga bermasalah bila kualitas air buruk akibat sisa pakan dan kotoran yang menumpuk di dasar akuarium. Itu membuat nitrit meningkat dan air terlihat keruh. Dalam kondisi normal, kandungan nitrit ditolerir 0,2 mg/1 air. Pleco dapat hidup sehat bila kandungan oksigen terlarut minimal 5 mg/1 air. Selain itu ia menyenangi pH 6 sampai 7 dan suhu 26 sampai 29°C dengan kesadahan air 5. Sandungan lain terjadi saat pengiriman. Pengemasan yang tidak disesuaikan jarak tempuh membuat pleco rentan mati. Saat pertama mengirim 50 ekor ke Belanda, Feni mendapati tingkat kematian mencapai 10%. Setelah dihitung-hitung, pengemasan minimal harus tahan 48 jam. Kepadatan dalam boks 60 cm x 40 cm maksimal berisi 50 ekor ukuran 5 cm. Permintaan dan harga sapu-sapu hias itu memang tinggi. Namun, kesulitan beternak dan kelangkaan induk membuat kuantitas sapu-sapu hias sedikit. Padahal, bila kendala itu teratasi, banjir rupiah seperti yang dialami Saldi bukan impian.