Temulawak: Terbentur Kualitas dan Lokasi

  • 4 min read

Industri jamu setiap bulan membutuhkan 200 ton rimpang temulawak. Meski produksi temulawak mencapai 437 ton per bulan, tetapi kebutuhan itu tak juga terpenuhi. Menurut Bambang Soepartoko dari PT jamu Sido Muncul baru 60 % dari total kebutuhan yang terpenuhi. Kualitas rimpang rendah menjadi kendala pabrikan untuk menyerap produksi pekebun. PT Jamu Sido Muncul yang “cuma” membutuhkan 10-15 ton per bulan mesti berburu ke berbagai sentra di Jawa Tengah seperti Purworejo, Blora, dan Wonogiri. Kebutuhan perusahaan itu selama ini terpenuhi lantaran sekilo rajangan temulawak kering dibeli Rp3.500-Rp4.000 saat panen raya. Harga itu relatif tinggi dibanding pembelian produsen jamu lain. Namun, pekebun di Gunungpati, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang kesulitan memasarkan. Lokasi dekat sebuah pabrik jamu memang tak menjamin Curcuma xanthoriza itu laku dijual. “Pengepul ngga mau beli. Katanya temulawak di sini jelek kualitasnya,” ucap Sujono, pekebun di Desa Murjo. Karena kecewa pemilik lahan 400 m2 itu menjual temulawak Munarsito lebih tragis dengan membabat habis 1 /4 hektar temulawak siap panen. ’’Harganya terlalu rendah,” kata ketua Kelompok Tani Rukun Santoso (KTRS) di Gunungpati itu. Pertengahan 2001 bersama 20 anggota kelompok, ia menanam setelah ada kesepakatan harga beli dari pengepul sebuah pabrik. Untung tak diraih buntung malah dituai. Harapan bisa menjual Rpl.000/kg rimpanng basah tinggal impian semata. Saat panen tiba sekilo temulawak cuma ditawar Rp450 padahal ongkos produksi Rp750/kg. Selisih minus Rp300/kg atau Rp600.000 dari total hasil panen 0,5 ha itu harus ditanggung Munarsito. Oleh karena itu pada musim tanam sekarang ia memilih jagung.

Standar mutu temulawak berkualitas

Pabrik-pabrik jamu menerapkan seleksi ketat untuk temulawak. Umur panen sekitar 8-9 bulan, kadar air 10- 12%, tidak tercemar pestisida, bersih dari kotoran, bebas cendawan jamur, dan memiliki aroma, rasa serta warna khas kuning kemerahan. Kriteria tersebut menurut Bambang Soepartoko hanya dapat dihasilkan dari lokasi tertentu. “Kami rutin meminta dari pekebun di Purworejo, Wonogiri, dan Blora lewat 5- 7 pengepul,” tutur kepala Bagian Pembinaan Petani PT Sido Muncul itu. Lokasi-lokasi itu dipilih bukan tanpa alasan. Secara turun temurun ketiganya menjadi lokasi temulawak karena agroklimat yang sesuai. Beberapa zat yang dikandung anggota Zingiberaceae itu kadarnya lebih baik ketimbang di lokasi lain. Kurkumin contohnya. Perangsang cairan empedu, antibakteri, dan antiradang itu per rimpang bobot 300 g minimal 2 %. Itu belum termasuk kadar 31 komponen lain seperti minyak asiri, sineal, dan trisiklin. Pekebun di Purworejo, Blora, dan Wonogiri, Jawa Tengah akhirnya menuai nasib baik. Sawiran pekebun di Desa Ngatan, Purworejo bisa menangguk omzet Rp3-juta per panen. Awalnya ia menanam temulawak di sela-sela cengkeh seluas 500 m2. Sembilan bulan kemudian 1,5 ton rajangan kering dibeli pengepul Rp2.000/ kg. Setelah dikurangi ongkos produksi Rp 1.200/kg , Sawiran meng-utip laba Rp800/kg. Karena menjanjikan untung, pertengahan 2002 ia memperluas lahan menjadi 1 ha.

Temulawak Olahan

Pintu pekebun lain untuk meraup untung memang belum tertutup. Yatin memilih beralih profesi dari pekebun menjadi pengepul. Wanita setengah baya di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Ambarawa, itu sebelumnya menanam temulawak di lahan 1.000 m2. “Susah pak ngejualnya.” ucap Yatin pada Mitra Usaha Tani. Rezeki Yatin mengalir lancar setelah bermitra dengan 25 pekebun di Purworejo, Cilacap, dan Boyolali. April-Agustus setiap tahun saat panen raya 20 ton/bulan rajangan kering temulawak dikirim ke berbagai industri jamu besar dan kecil. Ibunda Wiwik Wahyuningsih itu mengutip laba Rp500/kg. Artinya, RplO-juta/bulan ditangguk perempuan setengah baya itu. Namun, di luar panen raya paling-paling diperoleh 50 kuintal temulawak kering. Oleh karena itu Yatin acap menyimpan 5- 10 ton. Kerugian bukan tidak pernah dialami. “Sering pekebun temulawak itu nakal. Di atas ditaruh yang bagus, pas dibongkar bawahnya busuk,” ucap Yatin. Untuk Juni 2002 saja sekitar 7 ton terbuang percuma. Jika harga beli rimpang kering dari pekebun Rp 2.000/kg saja ia rugi Rpl4-juta. Cara lain agar pekebun tetap untung dengan memasok ke industri kecil. Produk temulawak instan hasil industri rumah tangga banyak butuh bahan baku. Soal kualitas? Mereka pun tak serewel pabrik jamu. Yang penting bersih dan mulus pasti diterima. Peluang itulah yang dimanfaatkan Sahadi, pekebun di Desa Wonorejo, Kecamatan Pare, Kediri. Ia rutin menyetor 3 ton/panen temulawak pada Suyanto. Produsen temulawak instan di Kediri itu membeli Rp800/kg basah. Dengan kebutuhan mencapai 150 kg/hari, Suyanto merangkul pekebun-pekebun temulawak agar pasokan bahan baku terjamin. Industri jamu tradisional pun tak ketinggalan menguber temulawak. Jamu Onta Ny Kwa Sam Tiong di Ambarawa misalnya, setiap pekan butuh 80 kg temulawak. “Di sini laku dijual baik basah, rimpang, atau serbuk”, ucap Musa pengelola Jamu Onta. Padahal dari ‘pengamatan Mitra Usaha Tani ada 3 usaha serupa di bilangan Jalan Brigjen Sudarto, Ambarawa itu.