Tobat Sambal Para Pekebun Cabai
- 4 min read
Para pekebun cabai ibarat makan sambal. Ketika harga menukik tajam mereka kapok, ya seperti makan sambal kepedasan. Namun, saat harga membaik mereka kembali tergoda untuk menanam. Padahal mengebunkan cabai harus siap mental untuk merugi.
Harga cabai seperti kuda pacu yang tak pernah diam. Ia terus bergerak naik-turun mengikuti medan. Celakanya, naik-turunnya kuda pacu itu sulit ditebak. Menjelang Lebaran lalu, diprediksikan harga cabai bakal merangkak naik setidaknya mencapai Rp 5.000 per kilogram.
Prediksi itu tak muluk-muluk. Sudah tradisi, menjelang Lebaran harga cabai di perkebunan cabai tradisional biasanya memang meninggi. Lebaran yang bertepatan dengan musim hujan semakin mengkukuhkan bahwa ramalan itu mendekati kebenaran. Soalnya, pada musim hujan serangan penyakit kian intens akibatnya produksi cabai pun menukik.
Cabai dan Tradisi lebaran
Ritual harga naik menjelang Lebaran ternyata malah jadi bumerang. Sebab. Banyak pekebun berpatokan pada asumsi itu dan mereka pun membuka lahan cabai pada September 2019 tujuannya cuman satu yaitu panen menjelang lebaran sehingga memperoleh harga tinggi
Bila demikian-pasokan berkurang sementara kebutuhan diasumsikan bertambah-maka harga pun terkerek naik Betulkah? Kali ini ramalan meleset, harga tetap tak beranjak sekitar Rp 4.000 per kilo. Menurut pedagang cabai d: Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, Tbny, pada H-l hingga H-6 banyak cabai membusuk.
Salah satu penyebabnya, “Kucuran KUT (Kredit Usaha Tar;, Red). Orang yang memperoleh kredit berlomba-lomba menanam cabai. Akibatnya, pasar tak mampu menyerap sehingga harga jatuh,” papar pemerhati cabai, Ir Final Prajnanta, MM.
Di sentra perkebunan cabai di Brebes, Jawa Tengah misalnya, areal penanaman melonjak hingga 100%. Bila pada 2018 hanya terdapat 1.500 ha penanaman, maka setahun kemudian menjadi 3.000 ha. Indikasi lain dapat terbaca dari tingginya penjualan benih pada Oktober dan September 2019. Menurut Nurjaya yang mengageni benih hot beauty Known You Seed penjualan pada bulan itu rata-rata 1.000 pak (1 pak=10g).
Budaya latah juga menghinggapi para pekebun cabai. Ketika harga membaik mereka tergoda menanam cabai. Mereka memanfaatkan lahan tidur yang semula diperuntukkan bagi pengembangan pemukiman. Sektor properti yang lesu darah tergiur juga mengembangkan cabai. Akibat banyaknya pekebun yang membuka areal cabai menyebabkan pasokan berlimpah.
Keadaan itu diperparah dengan berbarengnya panen di sentra-sentra besar cabai seperti Brebes, Lampung, dan Malang. Akhir dari kisah ini adalah turunnya harga. Dampaknya, banyak pekebun meninggalkan cabai. Penjualan benih pun ikut drop. “Bulan Februari dan Maret lalu rata-rata hanya 100-300 pak,” tutur Nuijaya.
Mengintip sentra Produsen Cabai
Pada periode tanam berikutnya mereka jera membudidayakan cabai sehingga terjadi keseimbangan pasokan dan penawaran. “Pada kondisi seperti ini terjadilah harga yang menguntungkan pekebun,” kata Final. Sejak awal Februari lalu harga kian membaik. Pekan pertama Februari di Kramatjati, harga rata-rata cabai merah keriting mencapai Rp ll.714. Hingga Maret harga itu relatif stabil.
Menurut pemasok cabai di pasar Cipanas, Jawa Barat, kenaikan harga kali ini lantaran dampak informasi bakal naiknya gaji pegawai negeri. Namun, tidak bagi Tony. “Kenaikan harga cabai tak ada kaitannya dengan kenaikan gaji. Umumnya bila panen jelek, harga cabai justru bagus,” papar Tony. Kondisi seperti itu tak bertahan lama sebab mereka yang jera menanam cabai suatu saat juga tergiur mengebunkan cabai.
Bagi pekebun profesional rendahnya harga tak harus membuat mereka hengkang. “Karakter cabai memang begitu. Ada saatnya harga rendah, ada kalanya tinggi,” tutur pekebun cabai Garin Mayangkara. Semakin lama mengebunkan cabai, ia memahami karakter si pedas sehingga mampu menekan risiko kerugian.
Sebelum menanam, “Saya survei lahan perkebunan cabai ke beberapa sentra dan menanyakan berapa banyak benih terjual kepada distributor,” ujar Garin membuka rahasia. Itulah sebabnya saat 12 September silam masyarakat antusias membudidayakan cabai, “Saya memutuskan untuk menunda. Paling cepat sebulan setelah mereka, barulah saya mulai menanamnya,” tutur mantan kontraktor yang kini mengelola 5,2 ha cabai di Serang dan Sukabumi itu. Jurus itu manjur juga. Ketika pekebun lain meratapi harga yang cuma Rp 4.000 per kilo, Garin belum menuai hasil.
Dua bulan berselang ia memanen perdana dan harganya pun membaik yakni Rp 10.000 per kilogram. Walau begitu, harga cabai ibarat roda pedati, kadang meroket seringkali pula melorot. “Jadi pekebun cabai memang harus siap mental untuk menanggung risiko kerugian ketika harga turun,” ujar Mayangkara.