Ubi Telo Unggulan Silangan Arek Malang
- 3 min read
Produksi rata-rata ubijalar hanya 10-15 ton/ha. Namun, potensi produksi 5 jenis ubijalar hibrida temuan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan umbi-umbian (Balitkabi) Malang mencapai 25-30 ton/ha. Sejak 2001 kelima jenis telo alias ubijalar itu dilepas sebagai varietas unggul. Balitkabi memiliki 321 jenis koleksi plasma nutfah ubijalar. Mereka dikembangkan untuk mendapatkan klon-klon unggul, di antaranya lewat penyilangan antar klon. Seleksi terhadap klon-klon hibrida yang diperoleh, terpilih 5 klon berpotensi unggul: MIS 104-1, MIS 146-1, AB 94001-8, B 0059-3, dan Inaswang OP 95-6. Mereka dilepas masing-masing dengan nama sari, boko, sukuh, jago, dan kidal. Selain produksi tinggi, ubi jalar itu berdaging manis. Tekstur daging halus sampai sedang. Kandungan bahan kering di atas 28% dengan kandungan serat rendah hanya sekitar 1%. Selain sukuh yang berdaging putih, warna daging jenis lain juga cukup menarik kuning dan krem. Ketahanan terhadap hama dan penyakit cukup baik. Menurut DR M Yusuf, pemulianya, tanggapan masyarakat terhadap kelima varietas cukup baik. Malah, sari kini telah mendominasi lebih dari 50% lahan ubijalar di Malang. Sukuh dikembangkan dalam skala luas oleh PT Toyota, Lampung untuk keperluan pakan ternak dan industri plastik ramah lingkungan. Berikut deskripsi lengkap varietas unggul tersebut.
Varietas Permata Tahan Serangan Boleng
Jika pemulia berlomba menangkarkan ubijalar yang berproduktivitas yang tinggi, Dr Muhammad Herman, peneliti di Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian itu giat merakit ubijalar resisten serangan boleng, Cylas Formicarius. “Di Indonesia belum ada ubijalar yang tahan hama boleng. Padahal intensitas serangannya tinggi,” ujar alumnus Gregoria University itu. Ubijalar rekayasa genetika itu mampu menahan serangan hingga 40%; ubijalar lain mati semua. Ubijalar itu juga resisten terhadap feathery mottle virus (FMV). Penelitian dimulai pada 1996 dengan menyeleksi sekitar 16 varietas lokal ubijalar, seperti Borobudur 4 dan Lokal Majenang. Sayang, tak satu pun dapat tumbuh di media kultur jaringan. Justru Jewel varietas asal Amerika Serikat yang responsif. Agar tahan serangan boleng, Herman mengambil gen protease inhibitor (pin II) dari kentang. Sedang ketahanan terhadap FMV diambil dari virus itu sendiri (cp-FMV). Cara penyisipan kedua gen sama, dengan memanfaatkan agrobacterium tumefaciens. Bakteri itu secara alami menginfeksi tanaman dan memindahkan DNA-nya ke dalam ubi jalar. Dengan cara itu regenerasi tanaman lebih mudah ketimbang jika pemberiannya ditembak gas helium. Dari semua bagian tanaman yang disisipi, petiole tangkai daun paling responsif, la mampu memaparkan transformasi gen dan tumbuh. Dari penembakan hingga pembiakkan di kultur jaringan membutuhkan waktu 8 bulan. Jika hama target menyantap umbi ubijalar transgenik, perlahan-lahan pencernaannya rusak. Seminggu kemudian ia terkapar. Berbeda dengan gen Bt, cuma butuh waktu 10 menit. Pasalnya, gen pin II hanya mengganggu pembentukan enzim protease pada pencernaan boleng. Sedang gen Bt merusak pencernaan hama target. Meski disisipi gen pin II, ubijalar itu aman dikonsumsi. Lantaran hanya 2 gen yang diubah di antara ribuan gen yang ada. Lagipula ia hanya bereaksi di pencernaan boleng yang bersuasana basa. Sedang di pencernaan manusia yang bersifat asam tidak berbahaya. Masyarakat harus bersabar jika ingin membudidayakan Jewel yang resisten boleng. Pasalnya ia masih mengalami uji biomolekuler di laboratorium