Teknologi Pertanian dari Kampung Santri

| Artikel | Mitra Usaha Tani

Suara gemuruh dari sebuah shaker memecah keheningan ruangan bernuansa putih itu. Di belakangnya rak-rak besi berbaris rapi dalam 2 lanjar. Isinya botol-botol berisi bibit beragam tanaman hasil kultur jaringan. Di ruang sebelah yang lebih kecil, seorang gadis tekun menduplikasi bahan tanaman di ruang tanam steril.
Pemandangan itu bukan di laboratorium kultur jaringan perusahaan besar melainkan di Pesantren Pertanian Darul Fallah.
Dari pondok pesantren di kawasan Ciampea, Bogor, itu memang tak hanya terdengar lantunan merdu aydt-ayat suci Al-Qur’an. Setiap bulan 80.000 plantlet benih kentang dikirim ke petani dan penangkar di Pangalengan (Jawa Barat), Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Produksi dan pemasaran dilakukan di bawah bendera PT Dafa Teknoagro Mandiri (DTM)-unit usaha pesantren yang berkembang menjadi perusahaan terbatas. Kebanyakan jenis granola (80%), sisanya atlantik, colombus, dan russet burbank.
Kentang jadi pilihan pertama saat perintisan perbanyakan tanaman dengan teknologi kultur jaringan. “Pada 1996 permintaan pasar besar karena ada larangan impor kentang, termasuk bibitnva,” nanar nimninan nesantren Ir. H.
Sukses memproduksi dan memasarkan bibit kentang, DTM merambah komoditas potensial lain. Misal pisang abaca yang sempat ngetren dan pisang buah seperti raja sereh, raja bulu, mas, dan tanduk. Ada juga produksi bibit tanaman hias seperti krisan dan plumbago.
Namun, yang jadi andalan saat ini adalah bibit jati unggul. “Pesanannya sudah lebih banyak dari kemampuan,” tutur Ir. Nursyamsu Mahyuddin, direktur utama DTM. Untuk 2002 sudah masuk pesanan 60.000 bibit, padahal kapasitas produksi 5.000 bibit per bulan.

Contents

Tamu dari Jerman

Produksi paling gres laboratorium yang semula hanya untuk kegiatan pendidikan itu adalah bibit phalaenopsis. “Awalnya seorang warga Jerman datang Syaratnya ia harus diperbanyak dengan teknologi meriklon. Ini supaya bunga persis seperti induknya,” ujar Dra. Susianti, penanggung jawab produksi.
Melalui beragam uji coba, kunci sukses meriklon terpecahkan. DTM berhasil menyisihkan kandidat-kandidat lain. “DTM satu-satunya yang sukses memproduksi massal phalaenopsis dengan teknologi meriklon,” papar alumnus Biologi UI itu. Yang lain produktivitas sangat rendah.
Dari satu explant (bahan perbanyakan yang diambil dari tunas tanaman induk, red) diperbanyak maksimal menjadi 10 bahkan 1 plantlet. Padahal DTM mampu menghasilkan 6.000 plantlet dari satu explant dengan 8 kali perbanyakan.
Ekspor perdana berlangsung pada Oktober 2001 sebanyak 200 plantlet. Dilanjutkan Januari 2002 dengan jumlah sama sebagai uji coba.

Seekor sapi

Sejak perintisan pada 1960, Darul Fallah sudah membidik pertanian sebagai nilai lebih. “Semula hanya bersifat pendidikan kepada santri. Lama-lama berkembang jadi bisnis untuk menopang kegiatan pendidikan itu,” ujar Tamsur. Setiap pagi selama sejam, antara 06.00- 07.00, santri secara berkelompok merawat beragam sayuran di petakan lahan yang jadi tanggung jawabnya.
Hasil panen dibeli oleh dapur umum santri dengan harga pasar. Bila ada kelebihan baru dijual keluar pesantren. “Yang melakukan santri dengan cara keliling dari rumah ke rumah atau ke pasar,” ujar pria kelahiran Yogyakarta itu. Ini dalam rangka menumbuhkan jiwa wiraswasta.
Cikal-bakal kegiatan bisnis pertanian dimulai pada 1970 dari seekor sapi perah. Jumlah itu terus berkembang hingga sekarang mencapai 24 betina dan 5 jantan dewasa. Dari ternak sapi itu dihasilkan 95-150 liter susu per hari. Produksi masih bisa ditingkatkan lantaran pasar masih terbuka. Susu dijual eceran dengan pelanggan utama penghuni perumahan di sekitar Leuwiliang dan Bogor. Cara berjualan itu lebih disukai karena harga jual lebih tinggi. “Lagipula bisa memberi kehidupan bagi loper,” papar Tamsur.
Setiap menjelang Idul Adha peternakan yang dikelola koperasi pesantren itu mengusahakan 250 ekor. “Pelanggannya biasanya dinas atau kantor-kantor pemerintahan,” tutur Sururi, penanggung jawab peternakan.
Sejak 2-3 lalu juga diusahakan kambing perah. Bibit diperoleh dari pasar Leuwiliang dan Cicurug. Dari 2 ekor kini berkembang menjadi 64 ekor. Yang sudah berproduksi 34 ekor dengan produktivitas 6-10 liter susu per hari.
Usaha ini terus dikembangkan sampai produksi mencapai 30 liter/hari. Sebab, “Pasarnya lebih luas (dibanding susu sapi, red) karena tidak hanya untuk dikonsumsi,” kata Tamsur yang pensiunan dosen Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian IPB itu.
Kegiatan bisnis koperasi tidak melulu di bidang peternakan. Koperasi juga memproduksi minuman dari Aloe vera alias lidah buaya.

Tanah longsor

Lingkungan pesantren di ketinggian 100-150 m dpi itu terasa sejuk lantaran dinaungi akasia nan menjulang tinggi. Di beberapa sudut tampak sengon yang jika digabungkan penanamannya mencapai 6 ha. Padahal, “Dulunya lahan sangat tandus, tanah merah, dan banyak longsor di sana-sini,” kata Tamsur mengenang kedatangan pada 1968.
Di dekat ruangan kelas tampak deretan bedengan tempat santri praktik bercocok tanam. Tak melulu teknik konvensional karena mereka juga diperkenalkan teknologi hidroponik. Bak hidroponik beserta talang air ditata dalam rumah kaca di muka laboratorium kultur jaringan. Dari sanalah pesantren pertanian Darul Fallah menyongsong pertanian berteknologi tinggi.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.